MENTERI Hukum dan Ham (Menkumham) Yasonna Laoly menyebut semua pihak baik pemerintah dan DPR telah sepakat tindak proses ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura perlu segera diselesaikan. Berkenaan dengan ekstradisi para koruptor di Singapura, Yasonna juga menerima telpon dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahauri yang meminta percepatan ratifikasi perjanjian ekstradisi.
“Sangat penting dipercepat supaya tindak lanjut bisa kita dapatkan. Saya sih sudah ditelpon oleh ketua KPK, sudah berbicara kalau boleh ini bisa disegerakan,” ungkap Yasonna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (2/2).
Yasonna menjelaskan pemerintah telah melakukan koordinasi secara internal antarkementerian untuk mempercepat proses ratifikasi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indoensia dan Singapura akan mempermudah penegakan hukum buronan KPK yang masih berkeliaran di Singapura.
“Perlu dipahami bahwa selama ini, upaya memulangkan pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke Singapura maupun transit di Singapura, kandas karena tidak adanya perjanjian bilateral,” kata Yasonna.
Oleh karena itu, dirinya menegaskan bahwa pemerintah terus berkomunikasi dengan DPR agar proses ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura segera diselesaikan. Perjanjian ekstradisi pada pokoknya adalah perjanjian yang mengatur tata cara penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana oleh suatu negara, kepada negara yang meminta penyerahan.
“Sesuai hasil kesepakatan, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura mencakup 31 (tiga puluh satu) tindak pidana, antara lain tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, serta korupsi,” papar dia.
Baca juga: Pemerintah Inginkan Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Cepat Diratifikasi
Bentuk kejahatan yang disepakati untuk dapat dijadikan dasar ekstradisi juga diatur dalam perjanjian tersebut. Sesuai hasil kesepakatan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura mencakup 31 tindak pidana, antara lain tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, serta korupsi.
Perjanjian antara Indonesia dan Singapura bersifat dinamis karena kedua negara sepakat menggunakan prinsip open ended dalam menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi. Hal ini merupakan upaya untuk mengantisipasi kejahatan lainnya di masa mendatang yang disepakati kedua pihak, sehingga mekanisme ekstradisi dapat tetap dilaksanakan.
“Jika perjanjian ekstradisi ini selesai diratifikasi dan disahkan dengan undang-undang, penegak hukum dapat langsung memanfaatkan mekanisme ini untuk mengejar pelaku tindak pidana. Tentunya, kami selaku central authority dari ekstradisi akan memberikan upaya terbaik untuk membantu menangani permohonan yang disampaikan,” ujar Yasonna.(OL-5)