Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) mendukung dan akan mengimplementasikan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkum HAM) nomor 7 tahun 2022 sebagai perubahan kedua atas Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 28 P/HUM/2021.
Dalam putusan itu, MA membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme dan lainnya. Menurut pertimbangan Majelis Hakim, persyaratan mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan.
Keputusan tersebut diambil oleh Ketua Majelis Supandi, Hakim Anggota Majelis Yodi Martono dan Is Sudaryono. Adapun pemohon ialah mantan kepala desa Subowo dan empat orang lainnya yang menjadi warga binaan di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung.
Majelis hakim menimbang fungsi pemidaaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera. Akan tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice.
Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum Rika Aprianti menegaskan pihaknya tengah menyelaraskan putusan MA tersebut dalam perubahan PP tersebut. Termasuk pengaturan atas pengetatan pemberian remisi untuk narapidana dengan status justice collaborator.
“Dalam pembahasan penyusunan dan penyelarasan perubahan Permenkum HAM ini kementerian/lembaga terkait menyetujui dan mendukung rancangan perubahan dengan beberapa pengetatan untuk tindak pidana tertentu yang merupakan jenis tindak pidana luar biasa. Namun itu dengan tetap memperhatikan bahwa pengetatan tersebut tidak boleh membatasi hak-hak narapidana,” papar Rika dalam keterangannya, Minggu (30/1).
Menurut dia penghilangan syarat justice collabolator dalam putusan MA menjadikan hal tersebut sebagai syarat pemberian hak, namun sebagai reward sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
“Dalam Permenkumham ini tidak menghilangkan syarat-syarat khusus dalam pemberian hak narapidana sesuai dengan PP 99 tahun 2012. Misalnya pemberian hak bagi narapidana terorisme tetap mempersyaratkan bahwa harus telah menyatakan ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia serta telah mengikuti dengan baik program deradikalisasi,” katanya.
Dalam Permenkum HAM ini, lanjut dia, mempersyaratkan untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi. “Reformulasi remisi alasan kemanusiaan diberikan berdasarkan atas satu kategori dan pengaturan kembali tentang remisi tambahan,” ujarnya.
Rika mengatakan, pihaknya akan melakukan reformulasi terhadap usulan remisi yang terlambat karena syarat dan dokumen belum terpenuhi pada periode penyerahan remisi baik umum ataupun khusus keagamaan. Misalnya remisi sebesar satu bulan bagi narapidana yang menjalani pidanananya enam sampai 12 bulan dan 2 bulan bagi narapidana yang menjalani pidananya 12 bulan atau lebih.
“Permenkum HAM yang diterbitkan ini dapat dijadikan sebagai regulasi yabg mengatur pemenuhan hak warga binaan pasca dikabulkanya sebagian gugatan atas beberapa pasal yang termuat dalam PP 99 tahun 2012 melalui keputusan MA no 28 P/HUM/2021,” pungkasnya. (OL-12)