STAF pengajar pasca sarjana Hubungan International Universitas Jenderal Ahmad Yani Bandung Connie Rahakundini Bakrie menilai keberadaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berpotensi melemahkan kompetensi dan daya asing riset nasional. Landasan hukumnya pun bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi.
“Secara umum kehadiran BRIN mesti disambut positif, memajukan Indonesia melalui kekuatan riset ilmu pengetahuan. Tapi kehadiran Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021, tentang: Badan Riset dan Inovasi Nasional, implikasinya telah membuat masyarakat ilmiah jadi resah,” kata Connie, Sabtu (8/1).
Connie menilai keberadaan BRIN bersifat sentralistik dan birokratik. Dampaknya melahirkan konservatisme dan tidak akan hidup terobosan inovasi yang radikal dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Menurut Connie adanya good will pemerintah yang kuat untuk memajukan riset berbekal Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 tahun 2021 berpotensi melanggar Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2919, tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas IPTEK), dan menimbulkan pergolakan sosial dari masyarakat ilmiah dan kampus. “Hal-hal ini berpotensi untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” jelas Connie.
Untuk menghindari hal-hal semacam itu, akademisi dan masyarakat riset Indonesia menurut Connie harus memberikan tanggapan yaitu bukan sekadar menunda Perpres 78 tahun 2021. “Presiden perlu memfasilitasi pertemuan dan urun rembug perwakilan stakeholders dari institusi yang atau akan dilikuidasi oleh BRIN,” ujar Connie.
Ia menyarankan agar segera mengatur pertemuan dengan Dewan Pengarah BRIN sebagai redefinisi dan redesain struktur fungsi dari BRIN. Sehingga BRIN menjadi optimum catalyst agent dalam memajukan riset nasional.
Dia mendukung usaha negara untuk memajukan dunia riset Indonesia menghadapi tantangan ilmu pengetahuan masa depan dengan menormalisasi Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK) strategis yaitu EIJKMAN, Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
“Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Nobel prize didapa dari laboratorium Eijkman tahun 1959 itu lokusnya Indonesia. BATAN, itu, dilahirkan dengan UU. Jadi tidak mungkin dibatalkan oleh Perpres,” ujar Connie.
Menurut dia Indonesia patut mempelajari cara negara-negara lain mengembangkan riset dan iptek. “Intinya kalau mau mudahnya BRIN itu copy saja model Royal Society di Inggris. Juga pengembangan nuklir era thorium misalnya, itu harus bisa dilakukan BATAN secara otonom karena akan terkait banyak pada kerjasama luar negeri misalnya dengan International Atomic Energy Agency atau IAEA,” ujar Connie Rahakundini Bakrie.
Sementara itu Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro meminta agar lembaga-lembaga yang dilebur itu kembali dikeluarkan dari BRIN. Sebab BRIN hanya boleh berperan sebagai koordinator riset di Indonesia dan tidak perlu meleburkan berbagai lembaga riset yang ada. “Mengkoordinasikan program maupun dananya. Risetnya dilakukan masing-masing lembaga riset. Sangat sederhana,” ujar Satryo.
LBM Eijkman berganti nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman. Perubahan nama beriringan dengan peleburan LBM Eijkman ke dalam BRIN. Perubahan manajemen LBM Eijkman menjadi PRBM Eijkman BRIN sudah dilakukan sejak September 2021.
BRIN memberikan lima opsi untuk para peneliti yang tergabung di LBM Eijkman sesuai status masing-masing. Pertama, Aparatur Sipil Negara (ASN )periset dilanjutkan menjadi ASN BRIN sekaligus diangkat sebagai peneliti.
Kedua, honorer periset usia diatas 40 tahun dan Strata-3 (S3) dapat mengikuti penerimaan ASN jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021. Ketiga, honorer periset usia kurang dari 40 tahun dan S3 dapat mengikuti penerimaan ASN.
Keempat, honorer periset non-S3 dapat melanjutkan studi dengan skema by-research dan Research Assistantship (RA) atau melanjutkan sebagai operator laboratorium di Cibinong. Kelima, honorer non periset diambil alih Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangungkusumo, Jakarta. (H-1)