DALAM hal bela negara, saya teringat kisah-kisah menarik dua sahabat berkebangsaan Rusia. Sebagai pemuda, mereka memiliki panggilan untuk membela negara lewat program wajib militer (wamil) atau program kerja sosial (social work).
Bagi mereka yang sudah duduk di perguruan tinggi, wamil semacam keharusan. Ada banyak dampak positif yang dapat diterima dalam kehidupan sosial, semisal beasiswa, tunjangan kesehatan gratis, dan lain-lain.
Biasanya, lama pelatihan antara 3-6 bulan. Mereka diberangkatkan ke sebuah kawasan khusus untuk menjalani program kilat. Rambut digunting plontos, kumis dicukur, dan kuku dipotong, plus berseragam paramiliter.
Egor Nikulin, misalnya, adalah penyair dan pemuda asal Moskwa. Ia pernah mengikuti wamil pada 2018 silam. Bagi Egor, menulis puisi sebagai cara merasakan situasi sosial, sedangkan wamil sebagai bentuk patriotisme.
Berbicara tentang patriotisme memang saya salut kepada para pemuda Rusia. Mereka gemar membaca buku bertema perjuangan. Selalu mengibarkan bendera tiga warna di rumah masing-masing setiap kali perayaan hari-hari nasional.
Tidak ada rasa gentar untuk urusan cinta Tanah Airnya.
“Ada perang maka ada damai. Tolstoy sudah mengatakan hal itu,” tutur Egor merujuk pada novel Perang dan Damai karya sastrawan Leo Tolstoy (1828-1910), bacaan wajib para kaum terpelajar Rusia.
Saya tidak mengerti ucapan teman tersebut. Apa hubungannya antara sastra dan perang? Ini membuat saya harus mengernyitkan dahi sejenak sebab saya bukan kritikus sastra atau filolog. Perlahan mencoba dan mencerna sari pati kalimat demi kalimat secara logis.
Di suatu hari lainnya, saya berdiskusi dengan seorang rekan, Nikita Simeonovic. Kebetulan kami pernah satu asrama di Moskwa pada 2018 silam. Ia adalah generasi yang juga lahir pasca-Soviet. Ia lebih memilih untuk tidak mengikuti wamil, melainkan kerja sosial.
Lama program pun sama, antara 3-6 bulan. Nikita membantu para orang tua lanjut usia di panti jompo dan para veteran perang. Tetua-tetua itu notabene dulunya pernah bertugas pada Perang Dunia II, Perang Chechnya, Perang Krimea, dan sebagainya.
Egor dan Nikita memiliki tujuan mulia. Sama-sama melayani negara mereka, baik melalui program wamil maupun kerja sosial. Itu dilakukan secara gembira. “Dalam situasi perang, kalau jam makan tiba, perang harus dihentikan sejenak. Jangan sampai perang membuat perut kosong,” jelas Nikita, yang sudah pernah tinggal di Amerika Serikat, itu.
Mereka berdua adalah contoh generasi pasca-Soviet yang berpikir global. Piawai berbahasa Inggris dan Jerman. Mereka belajar sejarah dan pengetahuan dunia sejak duduk di bangku sekolah hingga perguruan tinggi. Bagi Egor dan Nikita, perang bukanlah pilihan.
Tak dinyana, Rusia adalah negara federasi. Membentang di Eropa Timur dan Asia Utara. Negara terbesar di dunia ini meliputi lebih dari 17.125.191 kilometer persegi. Mencakup seperdelapan dari daratan bumi yang dapat dihuni.
Sejak Revolusi Bolshevik pada 1919, Rusia memiliki 11 zona waktu berbeda-beda. Setiap saat selalu ada potensi ancaman berbeda pula bagi itu negara. Tidak hanya perang, tetapi juga terorisme, cyber crime (kejahatan dunia maya), imigran gelap, prostitusi, dan sebagainya.
Putin tak ingin perang
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Prancis Emmanuel Macron baru saja mengadakan pertemuan di Kremlin, pada Senin, (7/2) lalu. Masalah kesetaraan keamanan di Eropa dan penyelesaian krisis intra-Ukraina menjadi topik utama diskusi.
Konflik antara Rusia-Ukraina mulai memanas kembali saat Ukraina menyatakan doktrin dalam dokumen bahwa: a) Rusia adalah musuh, b) kembalinya Krimea dengan cara militer memungkinkan.
“Bayangkan kalau Ukraina adalah anggota NATO. Ini berarti akan ada konfrontasi militer antara Rusia dan NATO. Saya bertanya apakah kita harus berjuang melawan NATO?” ujar Putin seperti disiarkan RT News.
“Tapi ada bagian lain dari pertanyaan, Anda ingin bertarung dengan Rusia? Tanyakan kepada para pembaca dan pemirsa: Apakah Anda ingin Prancis pergi berperang dengan Rusia? Tentu saja, bagaimana pun itu dapat dihindari.”
Dalam pertemuan kedua kepala negara, Putih dan Marcon terlihat saling menghormati. Putin tak ingin hal buruk terjadi. “Saya tak ingin (perang),” ucap Putih sembari tersenyum menatap Macron.
Dalam kehidupan sosial, generasi muda di Moskwa dan kota-kota besar di Rusia memang menginginkan hidup nyaman dan tentram. Apalagi, Rusia-Ukraina masih serumpun sebagai bangsa Slavic. Ukraina adalah bagian semasa Uni Soviet berkuasa. Bahasa sehari-hari kedua negara ini sangat mirip sekali, namun politik memisahkan mereka.
Perang dalam sejarah Rusia laksana ‘santapan pagi’. Itu sudah dilewati selama berabad-abad. Pada abad ke-19, misalnya, sejarah menunjukkan bahwa ada invasi besar-besaran Prancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte (1769-1821).
Pada 14 September 1812, pembakaran dimulai di berbagai tempat di Moskwa. Prancis yakin bahwa Moskwa dibakar atas perintah Gubernur Moskwa, Count Fyodor Rostopchin (1763-1826). Tentu saja, Rusia menyalahkan Prancis atas pembakaran itu. Namun demikian, 400 orang Moskwa ditembak karena dicurigai melakukan pembakaran sendirian oleh pengadilan militer Prancis.
Bonaparte bermarkas di Poklonnaya Gora. Pasukannya mengepung Moskwa dengan persenjataan modern di zamannya. Kondisi cuaca dingin dan persediaan makanan menipis. Akhirnya, membuat pasukan Bonaparte tak berdaya. Peristiwa bersejarah itu dikenal sebagai Perang Patriotik.
Singkat cerita, Prancis tak mampu menaklukkan Moskwa. Mereka pun pulang dengan kepala tertunduk malu. Situ sejarah itu masih dapat dilihat di Poklonnaya Gora. Para pelancong asal Indonesia sering dibawa pelesir ke sana. Kawasan itu kini menjadi salah satu destinasi wisata unggulan.
Pada Perang Dunia II, tentara Nazi Jerman dibawah pimpinan diktator Adolf Hitler (1889-1945) juga mencoba untuk merebut Moskwa dan Petersburg, namun tak berhasil. Pasukan Merah menjaga ketat sehingga tak membiarkan Nazi menundukkan dua kota penting tersebut.
Perang itu menjijikkan
Perang adalah jalan menuju damai. Bisa ya atau tidak. Tergantung tujuan perang sebab dalam perang sesungguhnya masing-masing pihak akan menelan pil pahit. Pasti ada korban yang saling berjatuhan dari masing-masing kubu. Tolstoy pernah mengatakan lewat novelnya Perang dan Damai.
‘Perang bukan perkara sopan santun, tapi hal yang paling menjijikkan dalam hidup. Anda perlu memahami hal ini agar tidak bermain perang.’
Novel epik tersebut menggambarkan masyarakat Rusia di era perang melawan Napoleon pada 1805-1812. Epilog novel ini membawa cerita hingga 1820. Sebagian kritikus menilai novel tersebut merupakan karya agung Tolstoy.
Di Indonesia sendiri, kita wajib membela negara. Sesungguhnya tertuang dalam pasal 27 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi; “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
Namun, wamil di Indonesia tidak seperti yang ada di Rusia. Pertama, ancaman masing-masing negara berbeda-beda. Kedua, Rusia memiliki peralatan tempur tercanggih di dunia. Dan, ketiga ialah dana perang sangatlah besar.
Memang, Ukraina masih sangat berharap lewat NATO. Presiden Volodymyr Zelensky meyakini Krimea suatu hari dapat kembali ke pangkuan Ukraina. Terlepas dari itu, Referendum 2014 menunjukkan mayoritas masyarakat di pulau itu memilih bergabung dengan Rusia.
Krimea adalah red zone (kawasan merah) bagi diplomat Indonesia untuk berkunjung atau bertamu ke sana.
Saya bersyukur pernah mampir menghirup udara sub-tropis Simferopol, Krimea, pada 2019. Kota-kota di bibir Laut Hitam itu begitu kaya akan pengaruh arsitektur dan sejarah Romawi. Masyarakat di sana menyambut setiap tamu secara baik dan sopan.
“Untuk Krimea, kita tidak bisa ke sana karena itu masuk red zone. Politik luar negeri kita netral sehingga menghargai Rusia. Saya pikir Krimea memang bagus seperti Bali ya,” tutur Wahid Supriyadi saat masih menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia, kala itu.
Kini, saya pun paham betul. Suara hati dua sahabat, Egor dan Nikita, mencerminkan kehidupan generasi Rusia paruh pertama abad ke-21 ini. Mereka tak ingin perang. Mereka sekadar mengikuti wamil dan kerja sosial karena diwajibkan negara.
Ada panggilan dan tuntutan sebagai warga negara yang baik. Selaiknya sedia payung sebelum hujan. Apapun situasinya, makan siang dan malam harus tetap disajikan tepat waktu. (SK-1)
Baca juga: Ami Intoyo, Senyum Itu Tiada Kini
Baca juga: Sajak-sajak Inggit Putria Marga
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Iwan Jaconiah, penyair, esais, wartawan Media Indonesia dan Metro TV. Peraih Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2015) dan Beasiswa Penuh Pemerintah Rusia (2015). Ia adalah pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award pada helatan X International Literary Festival “Chekhov Autumn-2019” di Yalta, Republik Krimea, Federasi Rusia. Buku terbarunya kumpulan puisi Hoi! (Terbit Press, 2020). Ilustrasi Samba.
Sumber: Media Indonesia | Jam Makan