• December 13, 2024 12:58 am

MUKTAMAR ke-34 Nahdhlatul Ulama di Lampung baru saja selesai. KH Mifatchul Akhyar terpilih sebagai rais am dan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU (2021-2026). Dua tokoh ini tampaknya ingin fokus pada penguatan NU sebagai organisasi yang mandiri. 

KH Miftachul Akhyar bahkan bersedia untuk melepaskan jabatannya di organisasi lain (ketua umum MUI). Sementara Gus Yahya dalam sebuah wawancara dengan Tempo, lebih tegas lagi mengatakan, “Saya tidak ingin pada 2024 nanti ada calon presiden dari PBNU.” Menurutnya, pertarungan politik ke depan akan semakin tajam sehingga diperlukan satu komponen sosial yang cukup kuat untuk menjadi penyangga sistem. 

NU dapat menjadi penyangga sistem itu jika ia tidak secara langsung terlibat dalam pertarungan politik praktis. Dengan ungkapan lain, jika NU tidak termasuk pihak-pihak yang bertarung, ia akan diterima sebagai penengah yang mendamaikan.

Memisahkan NU dari politik nyaris mustahil. Sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar di sebuah negara muslim terbesar di dunia, NU bagaimanapun tidak akan bisa diabaikan dalam percaturan politik Indonesia. Hal ini terbukti dari zaman penjajahan, Soekarno, Soeharto hingga Reformasi, NU selalu menjadi variabel penting dalam konstelasi politik negeri ini. 

Namun, berpolitik tidak selalu harus berarti menjadi partai politik (parpol) atau mencalonkan diri dalam pemilihan presiden dan kepala daerah. Berpolitik tidak harus berarti menguasai pemerintahan. Berpolitik bisa juga berarti memperkuat masyarakat sipil agar lebih mandiri dan memiliki daya tawar terhadap negara, dan pada saat yang sama tetap konsisten menjaga dan setia pada negara.

Langkah cerdik

Pada masa Soekarno, NU menjadi parpol. Mungkin berkat keterlibatannya dalam politik praktis itulah NU semakin berkembang pesat dan terorganisir. Pada masa Soeharto, khususnya dari awal 1970-an hingga awal 1980-an, NU juga tetap menjadi bagian dari parpol, yakni sebagai salah satu unsur penting dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, ketika peran NU di PPP semakin dikebiri pemerintah, muncul gagasan kembali ke khitah 1926, yang berimplikasi bahwa NU tidak lagi secara eksklusif terikat pada PPP. 

Langkah ini sungguh cerdik karena ketika kekuatan parpol sudah dibonsai dan tidak efektif lagi, maka keberadaan NU di luar partai justru lebih efektif sebagai kekuatan politik. Inilah kiranya yang membuat Ketua Umum Tanfidziah PBNU saat itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dapat tampil sebagai tokoh penting dan berwibawa, dan kelak mengantarkannya menjadi presiden pertama era Reformasi. 

Setelah Orde Baru runtuh pada 1998, Gus Dur dan kawan-kawan mengambil langkah strategis baru. Alih-alih kembali menjadi parpol, status NU sebagai ormas tetap dipertahankan. Tetapi pada saat yang sama didirikan parpol yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai saluran bagi aktivis NU yang ingin terjun ke dunia politik. Sekali lagi, ini merupakan satu langkah cerdas dalam beradaptasi dengan perubahan politik di tanah air. 

Langkah ini berhasil merangkul kepentingan NU sebagai kekuatan masyarakat sipil yang independen di satu sisi, dan kebutuhan sebagian warga NU untuk terlibat dalam pengelolaan negara melalui politik praktis di sisi lain. Dengan cara ini pula, NU sebagai ormas akan lebih bisa dilindungi dari jebakan-jebakan politik praktis. Politik yang kadang berubah begitu cepat dan mengejutkan, tidak akan secara langsung membahayakan NU. Selain itu, dengan mempertahankan statusnya sebagai ormas, peran NU tetap luas, yakni tidak sekadar di ranah politik, melainkan mencakup ranah sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan.

Di sisi lain, tampaknya selama Era Reformasi politik praktis sangat menggoda. Demokrasi politik yang melibatkan massa mau tidak mau akan memperhitungkan ormas seperti NU dengan pengikut yang amat besar. Meskipun secara formal NU tidak menjadi parpol, ia tetap dilirik untuk dijadikan mitra dalam pertarungan politik, baik lokal ataupun nasional. 

Di era Reformasi, beberapa orang dari PBNU turut mencalonkan diri jadi wakil presiden. Ada yang gagal dan ada pula yang berhasil terpilih. Di sejumlah daerah di tingkat lokal, di mana gerakan NU sebagai ormas masih lemah, yang lebih menonjol justru sisi politiknya. Kaum oligark dan/atau petinggi partai bahkan berusaha masuk ke NU untuk mengamankan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka. Di sisi lain, sebagian elite NU memang merasa membutuhkan orang luar tersebut, antara lain karena NU sebagai organisasi belum memiliki kemampuan yang memadai untuk mandiri.

Mungkin keadaan dilematis inilah yang membuat Gus Yahya ingin agar NU kembali ke khitah dalam arti lebih menekankan usaha-usaha memperkuat masyarakat sipil. Langkah strategis ini semakin terasa mendesak karena berbagai alasan. Pertama, mayoritas warga NU berbasis di desa-desa dan kelas menengah ke bawah. Mereka tertinggal secara ekonomi dan pendidikan. Krisis covid-19 tampaknya memperparah keadaan ini. Peran NU akan sangat bermakna jika dapat memberdayakan ekonomi warganya yang lemah ini. 

Dalam dunia pendidikan, NU memiliki ribuan pesantren dan sejumlah universitas. Namun secara umum, pendidikan modern seperti penguasaan sains dan teknologi bagi warga NU masih sangat perlu ditingkatkan. Jika upaya ini berhasil, NU tidak hanya bermanfaat bagi warganya melainkan juga bagi bangsa Indonesia. Bagaimanapun, kesenjangan itu laksana bom waktu yang dapat meledak kapan saja jika tidak ditangani dengan baik.

Kedua, kita maklum bahwa demokrasi politik yang sudah berlangsung kurang lebih 22 tahun di masa Reformasi ini, ternyata hasilnya masih jauh panggang dari api. Mimpi bahwa demokrasi politik akan melahirkan demokrasi sosial, yakni kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh rakyat, masih jauh dari kenyataan. 

Demokrasi politik justru menuntut ongkos yang amat mahal sehingga membuka peluang bagi masuknya oligarki di satu sisi, dan mendorong korupsi yang sulit dikendalikan di sisi lain. Dari pemilu ke pemilu, kita seolah berada dalam lingkaran setan politik uang yang berujung pada korupsi, dan kita tidak tahu bagaimana semua ini diakhiri. Dalam konteks inilah, langkah memperkuat kemandirian NU merupakan suatu upaya yang diharapkan dapat membuka pintu harapan untuk demokrasi kita yang lebih sehat di masa depan.

Ketiga, sebagai gerakan keagamaan, pemikiran keislaman ahlussunah waljamaah yang moderat sekaligus responsif terhadap kemasalahatan umum sangat diperlukan. Masalah ini tidak bisa digarap sambil lalu saja antara lain karena pintu masuk berbagai jenis paham keagamaan, termasuk radikalisme dan terorisme, sangat terbuka lebar, terutama melalui media sosial. 

Tidak boleh diam

Jika NU tidak menggarap masalah ini dengan sungguh-sungguh, masyarakat akan mudah dimasuki paham-paham yang membahayakan kemaslahatan umum. Selain itu, dengan adanya media sosial, masyarakat diterpa tsunami informasi dari berbagai sumber yang kadangkala bertentangan satu sama lain. Otoritas ulama, termasuk ulama NU, mau tidak mau mengalami kontestasi dengan otoritas lain. Di sisi lain, masyarakat sangat memerlukan tokoh yang menjadi pegangan agar tidak bingung atau terjerumus ke jurang relativisme, menganggap semua benar tanpa kriteria yang jelas.

Dalam hal pemikiran keagamaan ini pula, NU tidak sekadar dituntut menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan toleran, melainkan juga mampu mengembangkan pemikiran keagamaan yang responsif terhadap tuntutan zaman. Pemikiran keagamaan yang menuntut keadilan sosial dan kesejahteraan umum sangat perlu digalakkan kembali di tengah-tengah ketimpangan saat ini. 

Masalah ketimpangan antar kelas sosial jangan sampai terkubur dalam jurang politik identitas yang semu. Apalagi, dunia tengah menghadapi tiga perubahan besar; pertama, krisis lingkungan yang melanda dunia akibat pemanasan global. Cuaca ekstrem, anomali musim, banjir di mana-mana, semuanya akibat ulah tangan manusia merusak alam. Kedua, covid-19 sebagai krisis kesehatan global yang berdampak pada ekonomi, sosial, budaya dan politik hingga psikologis. Sampai hari ini, kita belum tahu kapan ancaman wabah ini akan berakhir. 

Ketiga, revolusi digital, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang makin canggih, yang tidak sekadar memudahkan hubungan antar manusia, melainkan juga mengubah gaya hidup dan pandangan kita terhadap hakikat keberadaan manusia. Tiga perubahan besar ini harus direspons dengan sungguh-sungguh, baik pada tataran pemikiran hingga pelaksanaannya di lapangan. 

Demikianlah, rencana penguatan NU sebagai ormas keagamaan sebagaimana yang dinyatakan oleh KH Miftachul Akhyar sebagai rais am dan KH Yahya Cholil Staquf sebagai ketua umum tanfidziah amatlah penting dan relevan. Tentu saja, dengan penekanan pada penguatan masyarakat sipil, bukan berarti bahwa warga NU tidak bisa ikut serta dalam dunia politik praktis secara perorangan, baik melalui parpol ataupun lembaga negara lainnya. Mungkin inilah cara baru NU kembali ke khitah 1926 di abad ke-21.


Sumber: Media Indonesia | Khitah Baru NU Abad 21

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *