BADAN Intelijen Negara (BIN) membantah menyudutkan lembaga dan melakukan kriminalisasi ulama dalam penangkapan tiga terduga teroris pada Selasa (16/11/2021) di Bekasi.
Penangkapan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ahmad Zain An-Najah (AZ), Ustaz Anung Al Hamat (AA), dan Ketua Umum Partai Dakwah Indonesia (PDRI) Ustaz Ahmad Farid Okbah adalah penangkapan orang-perorang yang telah lama dilakukan pemantauan.
“Sudah dipantau lama sejak 2014 sudah dilakukan pemantauan. Kita tidak menyudutkan lembaganya dan kriminalisasi ulama. Itu penangkapan orang perorang. Dan saat ini sedang disidik. Yang jelas terjadi terkait penggalangan dana. Yang lain diungkap di sini, dan nanti penyidikan yang akan mengungkap lebih jauh,” jelas Deputi VII Komunikasi dan Informasi BIN Wawan H. Purwanto dalam Diskusi Virtual Trijaya Hot Topic Petang bertema “Menyoal Penangkapan Teroris JI”, Jumat (19/11).
Menurut Wawan, Densus 88 Anti-teror Polri sudah melakukan penyidikan yang sesuai standar operasional prosedur (SOP) dalam penangkapan ketiga terduga terorisme. Artinya dalam penangkapan tersebut Densus 88 Anti-teror sudah memiliki alat bukti yang jelas.
“Densus dan Mabes Polri, dan kita melihat apa yang dilakukan Densus itu on the track, dan jangan sampai ketidak-adilan dalam penangkapan itu. Kalau sudah ada alat bukti dan saya kira bagaimana prosesnya itu kita ikuti secara cermat,” ujar Wawan.
Tentang kecurigaan menyusupnya Jamaah Islamiyah (JI) ke MUI, Wawan tidak menampik kemungkinan itu. Karena JI diduga telah bermetamorfosis mengubah pola aksinya, dengan menginfiltrasi lembaga lain.
“Di antaranya infiltrasi ke ormas dan organisasi sosial, hingga ke lembaga pendidikan dan yang terkait dengan politik. Ini mencerminkan paham radikal telah masuk ke berbagai lini kehidupan masyarakat,” ucap Wawan.
Sementara Wakil Sekjen Bidang Hukum MUI Ikhsan Abdullah secara pribadi mengaku sangat kaget dengan penangkapan anggota komisi fatwa MUI. Secara pribadi dirinya malu dengan berbagai macam perasaan dan berpikir kenapa ada orang-orang seperti itu di MUI.
Perbuatan Ahmad Zain, terang Ikhsan, adalah diluar institusi MUI dan secara kelembagaan MUI tidak bisa memantau seluruh anggota MUI yang jumlahnya ribuan. Prinsip MUI tidak menolerir radikalisme, sudah ditunjukkan MUI dengan langsung menonaktifkan Ahmad Zain pada hari yang sama ketika ia ditangkap Densus 88.
“Perbuatannya di luar, dan itu di luar kolerasi dan institusi di MUI. Kita tidak tahu seribu pengurus MUI itu kita tahu. Tidak tahu juga karena tidak pantau itu. Paham radikal tidak ada tempat di MUI. Kalau ada hama itu musibah dalam suatu tenda besar yang harus disingkirkan,” ujarnya.
Sementara itu mantan napi kasus terorisme, Haris Amir Falah, mengaku terkejut mendengar penangkapan ustadz Farid Okbah.
“Saya kenal beliau sebagai aktivis dakwah biasa, sangat tegas pada masalah Syiah misalnya,” kata Haris.
Meski demikian, Haris yakin Densus tidak akan gegabah menangkap Okbah tanpa alasan kuat. Berdasarkan pengalamannya, polisi selalu bisa menghadirkan bukti-bukti ke persidangan, sehingga tidak ada terdakwa kasus terorisme yang lolos.
“Belakangan ini kan selalu gaduh kalau ada penangkapan. Muncul kata Islamophobia, kriminalisasi ulama dan sebagainya. Padahal saat 2010 pun ada tokoh luar biasa yang ditangkap bareng saya. Dan di pengadilan bisa dibuktikan, bahwa betul ada kaitannya,” kata Haris.
Mengenai keberadaan Farid Okbah dan jaringannya yang belum pernah ditampilkan sejak penangkapan, Haris menyebutnya sebagai bagian dari prosedur Densus 88 Anti-teror. Hal ini pun pernah ia alami saat ditangkap dulu.
“Memang aturannya begitu, sekarang kan masih dalam masa penyidikan. Dulu saya selama seminggu tidak bisa ditemui siapapun. Tokoh seperti Abu Bakar Ba’asyir juga. Nanti ada masanya, dalam kondisi yang insya Allah aman,” pungkas dia.
Pengamat intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta juga tidak sepakat bila tertangkapnya dua anggota MUI dalam kasus terorisme, langsung disimpulkan sebagai bukti infiltrasi paham teroris.
“Penyusupan harus dibuktikan. Kalau dia masuk normal-normal saja tidak mempengaruhi kebijakan dan tidak merekrut rekan-rekannya, berarti dia disitu untuk bertahan hidup,” jelas Riyanta.
“Kecuali terbukti dia mempengaruhi rekan-rekannya, menggalang dana, merekrut anggota dan sebagainya itu baru bisa disebut menyusup,” sambungnya.
Meski begitu, ia sepakat keberadaan JI perlu terus diwaspadai. Karena, kata Riyanta, sekarang JI sudah mengubah strategi dengan meninggalkan kekerasan yang selama ini justru merugikan mereka sendiri. (OL-13)
Baca Juga: Nama PGI Dicatut Terkait Hasutan Pembubaran MUI