DALAM grup perpesanan teman-teman semasa SMP yang saya ikuti, dari puluhan anggota, dua di antaranya mengidap diabetes (lazim disebut diabetes melitus atau kencing manis). Satu di antara dua orang yang menderita penyakit itu telah wafat bulan lalu. Sementara itu, satunya masih rutin mengontrol kadar gula darahnya yang bolakbalik naik-turun. Kami, anggota grup yang rata-rata telah memasuki usia setengah abad, umumnya memang telah memiliki berbagai keluhan, dari kadar gula darah tinggi, asam urat, tekanan darah, hingga asam lambung. Maklum, ibarat mesin, tubuh kami mulai ‘aus’ seiring dengan bertambahnya usia.
Tanpa mengabaikan hal lainnya, dari berbagai keluhan tersebut, ternyata kadar gula dan tekanan darah yang tinggi yang paling berbahaya. Menurut data Kementerian Kesehatan, diabetes (penyakit yang disebabkan kadar gula darah tinggi) menjadi penyebab kematian tertinggi nomor tiga di Indonesia setelah strok dan jantung. Menurut data International Diabetes Federation (IDF) yang dikeluarkan tahun ini, sebanyak 537 juta orang dewasa (20-79 tahun) saat ini hidup dengan diabetes. Nah, itu artinya, mereka yang umurnya masih di bawah gocap (50) jangan senang dulu karena Anda pun berisiko.
Lantas apa, sih, sebenarnya penyakit diabetes itu? Seperti dikutip dari situs Kemenkes, diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme akibat peningkatan kadar gula darah di atas nilai normal yang berlangsung secara kronis. Hal itu disebabkan adanya gangguan pada hormon insulin yang dihasilkan kelenjar pankreas. Insulin berfungsi mengatur penggunaan glukosa oleh otot, lemak, atau sel-sel lain di tubuh. Apabila produksi insulin berkurang, bakal memicu naiknya kadar gula dalam darah serta gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.
Pada umumnya, DM dibedakan menjadi dua tipe, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan pankreas yang tidak memproduksi cukup insulin, sementara DM tipe 2 disebabkan gangguan kerja insulin yang juga dapat disertai kerusakan pada sel pankreas. Anak-anak umumnya menderita DM tipe 1.
Menurut sejumlah pakar kesehatan, ada beberapa penyebab orang terkena diabetes, antara lain kegemukan atau berat badan berlebih, kurang aktivitas fisik atau kalau istilah sekarang mager alias malas gerak, memiliki riwayat penyakit jantung, serta hipertensi atau tekanan darah tinggi. Diabetes memang juga bergantung pada faktor genetika, tetapi kita dapat membantu menjaga tingkat gula darah lewat asupan gizi dan menerapkan gaya hidup sehat dengan rajin berolahraga. Hal itu yang terus didengungkan IDF, termasuk saat peringatan Hari Diabetes Dunia yang jatuh hari ini (14 November).
Lembaga itu memprediksi jumlah penderita diabetes meningkat menjadi 643 juta pada 2030 dan 784 juta pada 2045. Penyakit itu juga bertanggung jawab atas 6,7 juta kematian sepanjang 2021. Untuk mengatasi penyakit itu, dunia setidaknya telah menghabiskan anggaran kesehatan sebesar US$966 miliar, atau sekitar Rp13,5 ribu triliun, meningkat 316% selama 15 tahun terakhir. Jumlah itu hampir setara dengan PDB Indonesia pada 2016 lalu yang mencapai US$931 miliar.
Jadi, betul seperti dituturkan sejarawan Yuval Noah Harari, di abad ini bukan perang atau terorisme yang mesti ditakuti, melainkan penyakit semacam ini yang mesti diwaspadai. Terlebih, seperti data yang diungkap IDF, sekitar 81% orang dewasa dengan diabetes tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Dengan ditambah ongkos mengatasi wabah korona dan perubahan iklim, apa enggak bikin negara-negara itu semakin sengsara?
Saya bukan ekonom, bukan pula pakar kesehatan, tapi melalui kolom ini izinkan saya mengingatkan, mari jalani pola hidup sehat demi kesejahteraan dan keselamatan kita bersama.