• April 20, 2024 7:39 pm

Jihadis Perempuan Dalam Teror yang Berjejaringan

ByRedaksi PAKAR

Jan 10, 2020
Fitri Adriani, Seorang Joker Jihadis

Pada tanggal 10 Oktober 2019, Syahrial Alamsyah alias Abu Rara menusuk Wiranto di Serang, Banten atas nama jihad. Lalu apa yang menarik dari kasus penusukan Wiranto ini?

Banyak yang ‘gagal fokus’ hanya tertuju pada Syahrial Alamsyah alias Abu Rara. Lupa bila ada ‘jari lentik’ yang ikut beraksi. Ya, tragedi ini lagi-lagi kembali menyingkapkan peran perempuan. Fitri Andriani bersama suaminya Abu Rara melakukan ightiyalat (assassination) cukup dengan kunai, senjata yang konon biasa dipakai ninja.

Fitri yang asli Brebes ini selayak ‘Joker’. Dia polos, hidup normal, pernah menjadi asisten rumah tangga di Jakarta lalu terpesona oleh extremism karena pergaulannya dengan pendukung ISIS. Namun Fitri kemudian menjadikan ightiyalat-nya sebagai ‘weg zum ruhm’, jalan ‘tenar’ yang membuatnya beralih menjadi perempuan nekat dan beringas demi sebuah ideologi yang mungkin tidak dipahaminya.

Keterlibatan Fitri dalam serangan ini menegaskan sebuah tren soal keterlibatan perempuan dalam terorisme dan fakta bahwa perempuan menjadi lebih radikal serta nekat dibanding kaum radikal laki-laki ketika mereka terjerat di jejaring kelompok teroris. Beberapa contoh kasus terorisme belakangan membuktikan hal ini.

Sebelumnya, pada bulan Desember 2016 dua wanita bernama Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari menjadi calon pelaku bom bunuh diri untuk sebuah rencana serangan di Jakarta. Pada Agustus 2017, Anggi Indah Kusuma merencanakan pemboman atas Istana Negara. Kemudian pada bulan Mei 2018 terjadi kasus bom bunuh diri di gereja Surabaya yang dilakukan sekeluarga. Salah satu pelakunya adalah Puji Kuswati dan putrinya yaitu Fadilah Sari dan Pamela Riskika, dan dua putranya yang bernama Yusuf Fadil (18 tahun) dan Firman Halim (16 tahun). Sementara itu, teman dia, Puspitasari, yang merupakan istri si pembuat bom, Anton Febrianto, tewas dalam sebuah ledakan di Rusun Wonocolo, Kecamatan Taman, Sidoarjo. Pada bulan yang sama, Dita Siska Melenia dan Siska Nur Azizah berencana menyerang anggota polri di Mako Brimob, Depok.

Kemudian, pada tanggal 13 Maret 2019, publik dikagetkan oleh ulah Marnita Sari Boru Hutauruk alias Solimah, istri Asmar Husain alias Abu Hamzah yang meledakkan diri saat dikepung Densus di Sibolga. Terakhir, pada bulan November 2019, Dewi Anggraini, yang merupakan istri Rabbial Muslim Nasution (pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan), berencana melakukan aksi bom bunuh diri di Bali.

Saya percaya bahwa indoktrinasi merupakan salah satu faktor yang menghasilkan para perempuan ekstrimis ini. Hasil indoktrinasi itu sangat mencengangkan hingga membuat sekeluarga ‘lupa daratan’ dan mau mempertaruhkan dirinya bersama anak dan istrinya untuk menjadi ‘pengantin’ (pelaku aksi bunuh diri).

Dalam hal indoktrinasi Puji Kuswati dan Puspitasari, sang ideolog mereka bernama Cholid Abu Bakar yang menjadi mentor mengaji para bomber Surabaya. Ia sesungguhnya bukan orang baru meski jarang terdengar. Ia sosok senior, dan perannya bukannya tak penting meski namanya tak muncul dalam struktur apa pun di Jamaah Ansharud Daulah. Seperti Aman Abdurrahman, Cholid Abu Bakar adalah ideolog. Otak dari ideologi radikal yang menyusup dan mengental di kepala keluarga Dita, Anton, dan Tri. Ia amat mungkin mastermind dibalik teror Surabaya. Dia dulu simpatisan JI, lalu beberapa tahun terakhir ‘mengeras’ menjadi pro-ISIS, dan berangkat ke Suriah. Berhasil masuk Suriah selama 1,5 tahun, baru pulang ke Indonesia tahun 2017.

 Jalan Jihadis

Para pemimpin organisasi jihad masih melihat peran ideal wanita sebagai “singa betina” yang tinggal di rumah dan menghasilkan “anak-anak”. Namun, seiring kebutuhan, mereka membawa wanita ke dalam pertempuran, termasuk operasi bunuh diri. Hal ini juga lantaran adanya tekanan pada kelompok dari operasi kontra-terorisme telah secara drastis mengurangi jumlah rekrutmen. Ketika ada persepsi peningkatan ancaman dan ketika wanita dapat memberikan elemen taktis kejutan terutama ketika mereka terlihat kurang cenderung dicurigai daripada pria. Contoh yang jelas adalah Bahrun Naim yang beralasan untuk memberitahu para pengikutnya untuk mencari wanita pelaku bom bunuh diri.

Kaum laki-laki menemukan jalan jihadisnya melalui pengalaman ‘maskulin’  yang bertumpuk-tumpuk, sehingga semakin mengekarkan maskulinitasnya dalam pertemuan dengan dunia jihadis. Perempuan menemukan ‘jalan jihadisnya’ bisa saja melalui jalan berliku. Namun ketika ia sudah terjun di medan jihad, perannya bukan sekedar pemanis.

Jessica Trisko Darden (2019), dalam penelitiannya di berbagai negara konflik seperti Nigeria, Irak, Somalia dan beberapa lainnya, menemukan banyak fakta bagaimana kaum perempuan bisa terlibat dalam dunia yang penuh kekerasan.  Dalam kelompok-kelompok jihad Salafi, seperti ISIS dan al Shabaab, ideologi sering membatasi peran yang tersedia bagi wanita muda dengan wanita dan ibu. Boko Haram adalah pengecualian penting untuk penggunaan secara ekstensif perempuan muda dan gadis sebagai pembom bunuh diri. Namun demikian, walaupun anggota teroris perempuan memainkan peran penting, namun kurang diakui dalam memajukan misi kelompok mereka.

Perkawinan paksa dan perbudakan seksual adalah ciri khas dari banyak kelompok teroris, termasuk ISIS, Boko Haram, dan al Shabaab. Di Irak, para pejuang ISIS secara sistematis menargetkan Yazidi perempuan untuk pemaksaan konversi agama, perkawinan, dan perbudakan seksual. Pada saat yang sama, banyak perempuan asing yang bergabung dengan ISIS berpartisipasi dalam pernikahan sukarela. Perkawinan dan pernikahan kembali, baik sukarela atau dipaksa, dalam kelompok teroris memainkan peran sosial yang penting dalam ikatan anggota. Perkawinan kembali berarti bahwa perempuan dan anak-anak terus disediakan oleh kelompok teroris, yang membangun loyalitas dan membantu mencegah pembelotan. Implikasi jangka panjang dari perkawinan dalam kelompok teroris tetap menjadi pertanyaan terbuka. Dalam kasus Tentara Perlawanan Tuhan di Uganda, dimana pernikahan paksa lazim, hanya 5 persen dari pernikahan itu berlanjut setelah orang-orang itu didemobilisasi dari kelompok itu. Demikian pula, di Nepal, banyak pernikahan dalam kelompok bersenjata Partai Komunis Nepal-Maois, yang melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah pusat, dibubarkan karena tekanan sosial setelah kelompok didemobilisasi.

Mengapa kelompok teroris merekrut dan memobilisasi perempuan? Kelompok-kelompok teroris mempekerjakan rekrutan muda di hampir setiap kapasitas dalam peran pendukung, sebagai perekrut, sebagai propagandis, dan sebagai pejuang. Peran spesifik individu sering ditentukan oleh usia dan jenis kelamin mereka. Umumnya, anak perempuan dan perempuan muda terutama melakukan tugas-tugas pendukung, termasuk menyiapkan makanan, mengumpulkan kayu bakar, menyediakan perawatan medis, dan memelihara kamp. Ini berlaku bagi mereka yang bergabung secara sukarela atau direkrut secara paksa. Gadis dan wanita muda dalam banyak kelompok teroris juga mengambil peran yang spesifik untuk jenis kelamin mereka, bertindak sebagai istri dan ibu pejuang bagi anak-anak mereka. Namun, peran spesifik gender ini sangat terkait dengan peran pendukung lainnya.

Anak perempuan dan perempuan muda sering menghadapi tekanan tambahan yang berasal dari peran sosial gender dan paparan terhadap kekerasan seksual dan domestik yang membuat mereka rentan terhadap perekrutan teroris. Selain itu, pendorong khas partisipasi dalam ekstremisme kekerasan, seperti tekanan keluarga atau rasa kewajiban agama, dapat beroperasi secara berbeda ketika diterapkan pada perempuan. Tekanan dari saudara laki-laki–ayah, saudara laki-laki, atau suami–seringkali diidentifikasi dalam sejarah pribadi para ekstremis perempuan yang kejam. Kehilangan kerabat dekat, dan terutama yang memiliki fungsi perwalian, juga dapat meningkatkan kerentanan anak perempuan terhadap perekrutan teroris. Ikatan keluarga dengan anggota kelompok teroris dan simpatisan, termasuk perkawinan, memfasilitasi perekrutan dan radikalisasi perempuan muda. Praktek pernikahan paksa atau awal dapat membuat perempuan muda lebih rentan terhadap paksaan dalam keluarga sementara juga berkontribusi pada rasa keterasingan, yang keduanya berkontribusi pada rasa keterasingan, yang keduanya terkait dengan partisipasi dalam kelompok ekstremis brutal. Kekerasan seksual dan rumah tangga (baik di dalam maupun di luar konteks pernikahan) juga dapat mendorong perempuan muda ke arah ekstremisme kekerasan.

Perempuan dalam Tapak-Jejak

Perempuan terjun menjadi teroris memang bukan fakta baru. Pada Abad 18, perempuan sudah muncul sebagai pelaku aktif terorisme seperti di Rusia saat melawan Tsar Rusia. Di Palestina juga demikian. “Kalian adalah laskar mawarku yang akan meluluhlantakkan tank-tank Israel,” seru Yasser Arafat pada pagi 27 Januari 2002. Sore harinya, untuk pertama kalinya seorang perempuan melakukan aksi bom bunuh diri. Dalam derita penjajahan Israel, telah lama perempuan Palestina menjadi pejuang yang tangguh dan tabah. Peran perempuan Palestina ditengah kuatnya budaya patriarkhi justru dipandang menjadi setara ketika perempuan terjun dalam jihad diawali dengan gerakan intifada. Seperti dikatakan Zahira Kamal, feminis Palestina yang menyebut partisipasi kaum perempuan dalam intifada sebagai satu langkah maju dalam membangun masyarakat demokratis yang didalamnya ada kesetaraan dengan kaum pria (Barbara Victor; 2008). Di Irlandia saat konflik IRA dengan Inggris, banyak kaum perempuan yang terlibat dalam aksi terorr. Di Chechnya mulai tahun 2000-an, kelompok Black Widows berani melakukan aksi serangan bunuh diri seiring dengan kematian suami-suami mereka. Boko Haram di Nigeria juga menjadikan perempuan sebagai bomber yang dipandang efektif karena mudah untuk mengelabui keamanan.

Pada 2015-2016, setidaknya ada tujuh perempuan ditangkap atau diidentifikasi dalam beberapa jenis peran aktif.

Mereka adalah Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari alias Tasnima Salsabila, keduanya mantan pekerja rumah tangga di luar negeri, karena menjadi sukarelawan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri, pertama di Jakarta, yang kedua dilaporkan di Bali. Lalu ada Tutin Sugiarti, seorang pedagang obat herbal dan ahli terapi pengobatan Islam, yang memfasilitasi pengenalan Dian kepada para pemimpin sel pro-ISIS dan mendirikan sebuah badan amal pro-ISIS yang disebut Dapur Umahat Aseer (Dapur Para Istri Para Tahanan). Kemudian Arida Putri Maharani yang membantu suaminya membuat bom.

Di Poso ada Tini Susanti Kaduku dan Jumiatun alias Ummi Delima yang menjadi pejuang bersenjata dalam Mujahidin Indonesia Timur (Mujahidin Indonesia Timur, MIT).

Terakhir, ada pula Aisyah Lina Kamelya menciptakan Baqiyah United Group (BUG), saluran pro-ISIS internasional pada aplikasi media sosial Telegram. Keanggotaan termasuk orang India, Kenya dan Libya. Dan juga ada Ratna Nirmala mendorong suaminya untuk menemaninya dan anak-anak mereka ke Suriah.

Fakta ini tampaknya menambah daftar panjang perempuan yang sudah menjalani hukuman atas keterlibatan dalam tindak pidana terorisme di Indonesia, antara lain Putri Munawwaroh, Inggrid Wahyu Cahyaningsih, Munfiatun, Rasidah binti Subari alias Najwa alias Firda, Ruqayah binti Husen Luceno, Deni Carmelita, Nurul Azmi Tibyani, Rosmawati, dan Arina Rahma.

Fakta ini sekaligus menunjukkan keinginan wanita Indonesia untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam terorisme. Fakta ini sekaligus bukti cerminan dari kelemahan gerakan pro-ISIS bahwa pemimpin laki-laki lebih berkewajiban untuk mewajibkan mereka daripada di masa lalu. Namun nayatnya inisiatif tersebut datang dari para perempuan. Ketertarikan perempuan Indonesia yang semakin meningkat untuk mengorganisir kelompok-kelompok media sosial, mendirikan badan amal pengumpulan dana dan menyediakan berbagai bentuk dukungan logistik untuk gerakan pro-ISIS menunjukkan bahwa ini bukan hanya laki-laki yang mengeksploitasi perempuan yang rentan, tetapi melibatkan perempuan yang bersemangat untuk diakui sebagai pejuang. Evolusi peran wanita ini meningkatkan resiko terorisme kaerna semakin ada ‘kesetaraan gender’ di kalangan teroris.

Peningkatan aktivisme terkait dengan kebangkitan ISIS dan daya tarik kekhalifahan sebagai negara Islam “murni”, tetapi juga kemampuan perempuan untuk mendapatkan keuntungan dari kecanggihan media sosial yang semakin meningkat. Wanita dapat mengambil bagian dalam forum diskusi radikal, bertemu pria, membaca propaganda ISIS, mengungkapkan aspirasi mereka dan menemukan teman-teman yang berpikiran sama semua di ruang yang relatif aman dari pesan yang terdeteksi.

Empat subhimpunan ekstremis perempuan Indonesia telah muncul, dua aktif, satu berpotensi aktif dan satu sementara dibongkar.

Yang pertama terdiri dari pekerja migran Indonesia di luar negeri di Asia Timur dan Timur Tengah yang mungkin memiliki kepercayaan diri yang lebih, lebih dari pandangan internasional, kemampuan bahasa Inggris atau Arab yang lebih baik dan keahlian komputer yang lebih baik daripada banyak rekan-rekan mereka yang tinggal di rumah. Karena orang asing yang dicopot di negara baru, mereka juga mungkin memiliki minat khusus dalam membangun komunitas baru di tempat mereka bekerja. Radikalisme laki-laki tampaknya melihat mereka lebih sinis sebagai sumber uang, tetapi itu menjadikan mereka target khusus untuk rekrutmen dan permohonan sumbangan.

Kelompok kedua terdiri dari wanita Indonesia yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah sebagai bagian dari unit keluarga. Memang sangat sedikit wanita lajang yang mencoba untuk pergi sendiri ke Suriah. Kalau toh ada bisa kita contohkan Nur Syahdina Dania, yang saat itu berumur 15 tahun ingin hijrah ke Suriah sebagai Bumi Syam yang dijanjikan. Kendati dia tidak sendiri karena bersama 23 keluarganya termasuk bapaknya yang pejabat eselon 2 di otorita Batam yaitu Joko Wiwoho.  Dalam beberapa kasus, para wanita yang mendorong keluarga untuk pergi, tertarik dengan video ISIS atau bertekad untuk membesarkan mereka

Dengan semakin banyak orang Indonesia terbunuh dan banyak dari gadis-gadis yang mencapai usia nikah, kemungkinan meningkatnya lebih banyak perkawinan antara janda Indonesia dan wanita muda dengan pejuang asing dari luar Asia Tenggara. Pejuang Indonesia yang telah pergi sebagai bujangan juga menikahi wanita lokal. Internasionalisasi jaringan teroris ini bisa memusingkan bagi pasukan keamanan di seluruh dunia di tahun-tahun mendatang.

Kelompok aktivis potensial ketiga adalah perempuan yang dideportasi. Ini adalah perempuan yang mencoba menyeberangi perbatasan Turki untuk bergabung dengan suami atau anggota keluarga lainnya atau yang datang dalam unit keluarga tetapi ditangkap dan dideportasi oleh pemerintah Turki. Mereka tidak dipantau secara sistematis dan juga tidak ada program untuk membantu reintegrasi mereka, tetapi dalam banyak kasus mereka memainkan peran ekonomi aktif di komunitas mereka sebelum keberangkatan. Mereka cukup radikal untuk ingin pergi; dan mereka mungkin frustrasi karena tidak mencapai tujuan mereka.

Kelompok keempat adalah para kombatan perempuan dari MIT di Poso. MIT, dari kemunculannya pada tahun 2013 hingga kematian pemimpinnya yaitu Santosa pada Juli 2016, adalah yang paling dekat dengan organisasi manapun yang telah datang dalam beberapa tahun terakhir menjadi jihadis di Poso. Para istri dilatih untuk menggunakan senjata api dan bahan peledak. Mereka sebenarnya lebih sebagai strategi bertahan hidup daripada sebagai taktik yang disengaja untuk mengecoh musuh (pasukan keamanan Indonesia). MIT telah dibongkar sebagian besar melalui operasi gabungan polisi-militer,. Walaupun begitu bahaya jaringan radikal yang muncul kembali di Poso masih cukup tinggi. Keterlibatan para perempuan dapat menandakan keinginan yang lebih besar dari kelompok-kelompok ekstremis dalam kondisi tertentu untuk menyertakan perempuan dalam pelatihan di masa depan. Penting untuk dicatat bahwa Indonesia jauh dari sendirian dalam melihat peran yang lebih besar bagi perempuan dalam radikalisme.

Membagi Keterlibatan

Ada empat peran yang dimainkan perempuan dalam terrorism di Indonesia. Peran pertama adalah peran sebagai pendukung tidak langsung. Kelompok peran ini ditempati perempuan-perempuan yang memberikan dukungan secara finansial, material, dan sikap sosial, namun mereka tidak melibatkan diri dalam aksi terorisme secara langsung. Pada saat ini, posisi pertama ini banyak diisi oleh simpatisan-simpatisan ISIS. Simpatisan perempuan ISIS dari Indonesia beberapa diantaranya memang tidak memiliki peran khusus dalam kelompok dan juga tidak banyak diketahui publik karena mereka bergerak pada forum-forum diskusi atau hanya sekedar memberikan dukungan pribadi. Dukungan personal kepada ISIS misalnya ditunjukkan oleh Ratna Nirmala yang merupakan simpatisan ISIS dari Indonesia. Ia merupakan perempuan yang berhijrah ke Suriah bersama suami dan anak-anaknya untuk mendukung berdirinya Daulah Islamiyah/ ISIS. Secara umum apa yang dilakukan Ratna Nirmala adalah bentuk dukungan dari simpatisan. Jika melihat melalui tipologi peran dalam kelompok teroris, maka Ratna Nirmala berada pada level pengikut (followers), yaitu sebagai simpatisan.

Peran kedua adalah sebagai pendukung langsung yang terlibat aktivitas terorisme, namun bukan pelaku bom bunuh diri dan terbatas pada penyediaan logistik aksi terorisme atau rekrutmen pelaku bom bunuh diri. Posisi ini ditempati beberapa perempuan diantaranya Umi Delima, Rosmawati, dan Tini Susanti yang tergabung aktif kedalam kelompok MIT pimpinan Santoso. Perempuan lainnya yaitu Tutin Sugiarti dan Arinda Putri Maharani dari jaringan ISIS Bahrun Naim melalui Solihin.

Perempuan dalam kelompok MIT banyak dilibatkan secara langsung dalam aktivitas kelompoknya. Umi Delima yaitu istri kedua dari Santoso bahkan dilibatkan dalam camp pelatihan di gunung biru dan juga ikut serta menjadi bagian dalam aksi baku tembak antara kelompok MIT dengan aparat.

Perempuan selanjutnya yaitu Tini Susanti yang juga merupakan istri dari Ali Kalora salah satu pimpinan dalam kelompok MIT yang menggantikan Santoso. Sama halnya dengan Umi Delima, Tini Susanti juga terlibat dalam camp pelatihan gunung biru. Peran lain ditujukan oleh Rosmawati, Ia menjadi perantara penerimaan uang via rekening yangkemudian ia salurkan pada istri–istri teroris dan martir serta untuk membeli logistik persediaan kelompok (IPAC 2017).

Perempuan yang berperan sebagai pendukung langsung dan terlibat aktif dalam jaringan ISIS juga ditunjukan oleh perempuan dari kelompok Solihin, yang merupakan jaringan ISIS dari Bahrun Naim. Tutin Sugiarti merupakan perempuan yang menempati posisi sebagai perekrut (recruiter). Tutin Sugiarti merupakan seorang yang telah merekrut Dian untuk dihubungkan dengan kelompok Pro ISIS pimpinan Bahrun naim. Tutin menjadi orang yang mengenalkan Dian kepada Solihin sebelum Dian dinikahi oleh Solihin dan melakukan misi menjadi martir bom bunuh diri.  Perempuan selanjutnya yaitu Arinda Putri Maharani, yaitu istri pertama Solihin yang ditangkap karena menjadi fasilitator penerimaan uang perakitan bom dan juga karena ia mengetahui bahan peledak dan lokasi perakitan bom tersebut.

Peran ketiga adalah sebagai pelaku bom bunuh diri. Peran ini merupakan peran yang khusus dan sangat penting.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, contoh pemain peran ini adalah Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari. Meskipun mereka berdua masih dalam tahap perencanaan, namun keduanya adalah perempuan yang sudah diputuskan sebagai calonpengantin bom bunuh diri. Dian adalah calon pelaku bom bunuh diri yang akan diledakkan di Istana Negara sedangkan Ika Puspitasari adalah calon martir yang akan diledakkan di Bali. Keduanya meskipun memiliki peran yang vital dan beresiko, namun mereka menempati level yang rendah, yaitu sebagai follower dengan posisi sebagai foot soldier. Hal ini terjadi karena posisi ini adalah posisi yang diisi oleh anggota-anggota yang memiliki kemauan besar namun tidak banyak memiliki peran penting lainnya dikelompok (J. Victorof; 2005).

Peran keempat adalah sebagai pemimpin kelompok, yang memiliki kewenangan untuk memilih orang lain untuk dilibatkan dalam setiap aktivitas terorisme. Aisyah Lina Kamelya adalah contoh perempuan yang memiliki peran sebagai pemimpin dalam kelompok. Ia dikategorikan sebagai pemimpin atas inisiatifnya membangun Baqiyah United Group (BUG) yaitu sebuah group dalam jejaring sosial telegram, yang memfasilitasi para perempuan untuk ikut dalam jihad membela ISIS. BUG berfungsi sebagai tempat untuk merekrut pendukung ISIS dan juga untuk menggalang dana dari simpatisan ISIS guna mendukung setiap aktivitas jaringan ISIS, termasuk biaya untuk pergi ke Daulah Islamiyah.

Hingga sekarang, belum ditemukan adanya perempuan Indonesia yang berperan sebagai pemimpin dalam jaringan terorisme. Musababnya bisa dipastikan lantaran belum banyak perempuan Indonesia yang memiliki sikap berani memutuskan diri sendiri untuk mengambil resiko dengan memasuki wilayah terorisme lebih jauh, termasuk untuk mengendalikan jaringan terorisme sebagai pemimpin.

Soffa Ikhsan adalah adalah Kordinator di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku).

 

One thought on “Jihadis Perempuan Dalam Teror yang Berjejaringan”
  1. […] Artikel Ini Telah Dimuat: Radicalism Studies […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *