Oleh Mohd Adhe Bhakti*)
Zulkarnaen Bebas dari Peristiwa Bom Bali
Pada 19 Januari 2022 lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis pidana 15 (lima belas) tahun penjara kepada Zulkarnaen karena dinilai terbukti melanggar pasal 13 huruf c Undang-undang Tindak Pidana Terorisme. Yang menarik pehatian adalah bahwa pidana yang dijatuhkan kepada Panglima Asykari (Sayap Militer) Jamaah Islamiyah tersebut bukan karena keterlibatannya dalam peristiwa Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober tahun 2002. Tapi hakim yang memimpin persidangan menjatuhkan pidana kepada pria yang berusia 59 tahun tersebut karena dianggap menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.
Banyak pihak yang menanyakan kepada penulis perihal hal tersebut, bagaimana orang yang dihargai 5 (lima) juta dollar oleh Amerika Serikat tersebut bisa bebas dari peristiwa Bom Bali tahun 2002 ?. Padahal semua pelaku pada peristiwa yang sering disebut ‘Bom Bali I’ tersebut adalah bagian dari personel Jamaah Islamiyah, dimana pria kelahiran Sragen, 14 Januari 1963 ini adalah pimpinan sayap militer organisasi yang telah ditetapkan sebagai entitas teroris pada 2008 itu.
Setidaknya ada dua alasan kenapa pria dengan nama asli Arif Sunarso ini oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur dinyatakan tidak bisa dipidana dengan Undang-undang Terorisme yang berlaku di Indonesia dalam peristiwa Bom Bali I:
Pertama karena Indonesia tidak menganut asas retroaktif, yaitu berlakunya hukum secara surut (waktu). Sehingga semua peristiwa tindak pidana terorisme sebelum Undang-undang nomor 15 tahun 2003 berlaku (dan revisi pada tahun 2018), tidak dapat diperiksa dan diadili sesuai aturan tersebut.
Betul bahwa tiga pelaku utama bom Bali yaitu Imam Samudra, Mukhlas dan Amrozi dipidana mati dengan Undang-undang nomor 15 tahun 2003 saat asas retroaktif (Undang-undang nomor 16 tahun 2003) terhadap peristiwa yang menyebabkan korban jiwa 209 orang tersebut belum dicabut. Namun sejak 30 Juli 2004 pemberlakuan surut Undang-undang nomor 15 tahun 2003 untuk peristiwa bom Bali I tidak bisa diberlakukan lagi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 013/PUU-I/2003.
Hisyam, atau yang lebih dikenal dengan Umar Patek juga diadili dan divonis dalam peristiwa Bom Bali I pada tahun 2012. Tapi vonis kumulatif selama 20 tahun penjara terhadap pria yang turut merakit bom pada peristiwa Bom Bali I tersebut diantaranya karena Jaksa Penuntut Umum saat itu melapis dakwaan terhadap dirinya dengan pasal 340 KUHP khusus untuk peristiwa Bom Bali I. Hal ini pula menjadi pertanyaan kepada Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Zulkarnaen; kenapa tidak mengaitkan Zulkarnaen dengan pasal dalam KUHP dalam peristiwa Bom Bali I seperti yang terjadi pada Umar Patek…???
Alasan kedua karena peranan pria yang ditangkap di Lampung pada Kamis, 10 Desember 2020 ini dalam peristiwa Bom Bali I tidak signifikan, atau setidak-tidaknya tidak cukup kuatnya pembuktian (berupa alat bukti) yang dikumpulkan Densus 88 dan Jaksa dari Satgas Kejaksaan Agung RI, yang mana bukti tersebut mendukung peranan terdakwa dalam peristiwa Bom Bali I. Dalam persidangan tanggal 13 Oktober 2021 misalnya, Umar Patek (serta beberapa pelaku Bom Bali I lainnya) yang berperan cukup penting dalam peristiwa Bom Bali I saat menjadi saksi mengatakan bahwa – para pelaku – pada pokoknya tidak pernah mendapatkan perintah, melaporkan atau bahkan menginformasikan kepada Zulkarnaen mengenai “operasi Bom Bali I”. Sehingga pria yang pernah mendapatkan pelatihan militer di Afghanistan pada era 80-90an itu tidak tahu menahu tentang peristiwa Bom Bali I.
Dalam sedikitnya bukti terhadap peranan terdakwa dalam peristiwa Bom Bali I… Jaksa dengan percaya diri menuntut dan memohon kepada majelis Hakim agar terdakwa tetap dinyatakan bersalah dalam rangkaian perbuatannya sebagai anggota Jamaah Islamiyah – termasuk dalam peristiwa Bom Bali I – serta meminta majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama seumur hidup kepada Zulkarnaen. Pasal yang diterapkan oleh Jaksa dalam surat tuntutan yang dibacakan pada 5 Januari 2022 tersebut adalah pasal 15 juncto pasal 7 Undang-undang Terorisme.
Keputusan Hakim untuk mendudukkan aturan Hukum sebagaimana mestinya (misalnya soal menolak asas retroaktif dalam kasus Bom Bali I) harus diapresiasi dengan baik. Walaupun Hakim tidak mengadili Zulkarnaen dengan Undang-undang nomor 15 tahun 2003 dalam peristiwa bom Bali I dan tidak dilapisnya pasal dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan pasal yang berasal dari aturan/perundangan lain yang berlaku (termasuk namun bukan satu-satunya yaitu misalnya KUHP), namun Hakim cukup jeli dalam melihat bahwa ada perbuatan lain yang dilakukan terdakwa Zulkarnaen.
Hakim dalam amar putusannya mengatakan bahwa Zulkarnaen menyembunyikan informasi tentang masih beroperasinya Jamaah Islamiyah yang sudah dilarang dan ditetapkan sebagai organisasi teroris, temasuk diantaranya menyembunyikan DPO kasus terorisme sebagai perbuatan yang terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh pria yang juga biasa dipanggil Mbah Zul ini.
“Terbukti melanggar pasal 13 huruf c Undang-undang Terorisme” demikian salah satu pokok putusan Hakim dalam persidangan yang dilaksanakan secara semi online pada 19 Januari 2022. Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun kepada terdakwa, yang merupakan hukuman maksimal bagi pelanggar delik menyembunyikan informasi tentang terorisme sebagaimana dalam pasal 13 huruf c Undang-undang Terorisme.
Bukan Satu-satunya Kasus Bebas.
Kasus Zulkarnaen yang “bebas” dari peristiwa tindak pidana terorisme Bom Bali I ternyata bukan satu-satunya kasus dalam sejarah proses penegakan hukum tindak pidana terorisme di Indonesia, dimana terdakwa oleh Majelis Hakim diputuskan tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan atau tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Bahkan ada terdakwa yang divonis tidak terlibat terorisme sama sekali. Sedangkan pola “bebas”nya terdakwa kasus terorisme ini setidaknya terbagi dalam beberapa pola yang dapat dijelaskan dalam studi kasus berikut ini:
-
Al Khelaiw Ali Abdullah Bebas dari Pendanaan Terorisme
Pria warga negara Saudi ini sedianya adalah seorang wisatawan yang sedang berlibur dengan visa turis di Indonesia. Dan orang yang menjadi pemandu wisatanya adalah juga master mind dalam peristiwa ledakan bom di daerah Mega Kuningan pada tahun 2009 atas nama Syaifudin Zuhri alias Syaifudin Jaelani. Dalam perjalanan ke berbagai daerah tujuan wisata inilah pria yang yang dipanggil Ali ini dipertemukan oleh Syaifudin Zuhri dengan seorang pengusaha Warnet.
Singkat cerita, Ali yang pensiunan guru di negara asalnya tersebut kemudian mengeluarkan sejumlah dana untuk ikut berinvestasi dalam bisnis Warnet yang pada saat itu memang cukup menjanjikan. Ada sebagian dari dana tersebut yang kemudian mengalir kepada Syaifudin Zuhri, sehingga atas aliran dana tersebutlah Jaksa Penuntut Umum menuntut Ali selama 9 (sembilan) tahun penjara karena dianggap bersalah memberi bantuan dana kepada pelaku tindak pidana terorisme.
Dalam sidang putusan pada Senin, 28 Juli 2010, majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memimpin persidangan tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum. Perbuatan terdakwa yang oleh Jaksa dianggap mengakibatkan otak pelaku teror Mega Kuningan 2009 menerima sejumlah dana, oleh majelis Hakim dinilai bukan merupakan bagian dari pendanaan terorisme atau bantuan uang kepada pelaku teror. Dana yang diberikan oleh pengusaha Warnet bukan atas kehendak Ali dan dana yang diberikan oleh pengusaha Warnet (tidak pernah diadili) adalah sebagai fee bisnis…
Ali sujud syukur di lantai ruang sidang saat majelis Hakim menyatakan bahwa dirinya tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari dakwaan/tuntutan terorisme. Namun walaupun bebas dari delik terorisme, majelis Hakim menilai bahwa Ali telah melakukan pelanggaran keimigrasian. Jaksa Penuntut Umum memang memasukkan pasal tentang Keimigrasian dalam surat dakwaan sebagai alternatif dan karenanya Hakim menjatuhkan pidana 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan penjara kepada Ali.
Kasus ini adalah contoh bagaimana Jaksa dan Hakim sama-sama melihat ada dana yang mengalir kepada pelaku terorisme, hanya saja Jaksa melihat ini sebagai pelanggaran terorisme sedangkan dalam putusannya Hakim menilai sebagai pelanggaran imigrasi. Dalam kasus ini Jaksa cukup berhati-hati dan cermat, sehingga memasukkan pasal diluar Undang-undang Terorisme, semacam antisipasi.
Ada perbuatan yang sama (aliran dana) tapi dua dasar aturan yang berbeda (Undang-undang Terorisme dan Keimigrasian)
-
Putri Munawaroh Bebas dari Sembunyikan Noordin M. Top
Suami Putri Munawaroh adalah Susilo Adib alias Ahsan yang dalam kurang lebih selama satu bulan lamanya, menerima “tamu” buronan nomor wahid asal Malaysia Noordin M. Top di rumah mereka di Mojosongo – Solo. Saat bersembunyi di rumah Ahsan dan Putri, Noordin dan kaki tangannya sedang dalam pelarian pasca peristiwa Bom di daerah Mega Kuningan Jakarta.
Kultur Islam fundamentalis – yang juga dianut oleh hampir semua kelompok teror dengan latar belakang Islam di Indonesia – tidak mengijinkan seorang istri berinteraksi dengan tamu suaminya. Demikian pula dengan Putri, misalnya jika hendak keluar kamar untuk memasak bagi tamunya, maka Putri akan memberi tanda berupa suara tertentu, lalu “tamu”nya akan pindah ke kamar atau ruangan lain agar tidak berpapasan dengan Putri. “Ritual” ini dijalani oleh Putri, Suami dan “tamu”nya hingga akhirnya polisi mengendus tempat persembunyian Noordin M. Top tersebut, mengepung dan melakukan penyergapan. Dalam kontak tembak tersebut, hanya Putri yang selamat dengan luka tembak dibagian pinggulnya.
Saat persidangan terhadap Putri, Jaksa Penuntut Umum menjadikan satu bulan bantuan Putri (dan suaminya Ahsan) bagi persembunyian Noordin M Top, sebagai peristiwa teror yang terbukti dilakukan oleh perempuan kelahiran 8 Desember 1989 ini. Namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu menjatuhkan pidana bukan karena peristiwa selama 1 (satu) bulan persembunyian Noordin M. Top, tapi peristiwa tidak mau menyerah saat pengepungan selama kurang lebih 8 jam oleh Polisilah yang dianggap terbukti dilakukan oleh Putri.
Majelis Hakim sangat memahami soal “kultur” yang disebutkan diatas dan tidak menganggap bahwa bantuan (misalnya memasak) yang diberikan Putri sebagai bagian dari perbuatan melawan hukum. Selain tidak pernah tahu siapa tamunya, ‘perintah suami yang harus dituruti’ adalah salah satu hal yang dapat dengan jeli dilihat oleh Hakim.
Saat Polisi mulai mengepung rumah tersebut, Noordin M. Top Bersama kaki tangannya, Ahsan dan Putri menolak untuk menyerah dan bersembunyi bersama di salah satu bagian rumah. Bahkan peluru ditembakkan kearah petugas sebagai bentuk perlawanan terhadap aparat penegak hukum. Himbauan untuk menyerah dari pengeras suara milik petugas tidak dihiraukan oleh mereka, termasuk oleh Putri. Sehingga pada titik inilah Hakim melihat kesalahannya dan menjatuhkan pidana selama 3 (tiga) tahun penjara karenanya.
Dalam peristiwa tersebut akhirnya polisi terpaksa melakukan serangan ke rumah yang menewaskan semua tersangka, kecuali Putri yang saat itu sedang hamil besar mengalami luka tembak dan sempat menjalani perawatan di RS. Putri Munawaroh melahirkan seorang anak laki-laki saat sedang menjalani proses hukum.
-
Afif Abdul Madjid Bebas dari Bergabung dengan ISIS
Saat “fenomena” Arab Spring terjadi, Afif Abdul Madjid yang Bernama asli Muhammad Aries Rahardjo turut ambil bagian dan berangkat ke Suriah pada 13 Desember 2013 untuk bergabung dengan salah satu “faksi pembebasan” di sana. Dalam perjalanan tersebut Afif Abdul Madjid atau yang biasa dipanggil ustadz Afif bergabung dengan ISIS dan tidak hanya mendukung tapi juga ikut serta dalam perlawanan terhadap Pemerintah Suriah yang sah Bersama ISIS. Setelah bergabung dan bertempur bersama kelompok ISIS selama 1 (satu) bulan di Suriah, Ustadz Afif kembali ke Indonesia dan meneruskan dukungan kepada ISIS di Indonesia.
Karena perbuatannya bergabung dan bertempur dengan ISIS tersebut, Jaksa Penuntut Umum kemudian menuntut agar majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan pria yang dikenal sebagai orang kepercayaan ustadz Abu Bakar Baasyir tersebut bersalah dan dipidana selama 8 (delapan) tahun penjara.
Majelis Hakim yang memimpin persidangan tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum, karena dukungan kepada ISIS dan ikut berlatih kemiliteran di luar negeri belum diatur oleh Undang-undang Terorisme saat itu (baru diatur dalam Undang-undang Terorisme 2018). Saat Ustadz Afif berangkat dan bergabung dengan ISIS di Suriah, organisasi ISIS juga belum masuk dalam DTTOT yang dikeluarkan Mabes Polri dan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pada Senin, 29 Juni 2015, majelis Hakim tetap menjatuhkan pidana kepada Ustadz Afif selama 4 (empat) tahun penjara, tapi bukan karena kaitannya dengan ISIS melainkan karena mendanai pelatihan militer di Jalin Jantho – Aceh sebesar 25 (dua puluh lima juta) rupiah, sebagaimana dakwaan alternatif Jaksa Penuntut Umum yang mencantumkan perbuatan lain yang dilakukan oleh pria kelahiran Pacitan, 26 April 1952 ini.
Kasus ustadz Afif ini adalah contoh pola perbedaan antara pandangan Jaksa dan Hakim pada perbuatan/peristiwa yang dilakukan terdakwa. Jadi ada dua perbuatan yang berbeda, dimana oleh Jaksa terbukti perbuatan yang satu, sedangkan oleh Hakim dinilai yang terbukti adalah perbuatan lainnya. Keduanya sama-sama melanggar pasal dalam aturan yang sama yaitu Undang-undang Terorisme.
-
Heri Kuswanto dan Abdul Haris Munandar, Bebas dari Tudingan Pemasok Senjata Teroris Medan
Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Heri Kuswanto dan Abdul Haris Munandar menuntut agar Majelis Pengadilan Negeri Tanjung Karang, menyatakan keduanya bersalah dalam kasus tindak pidana terorisme dan menjatuhkn pidana kepada masing-masing selama 5 (lima) tahun penjara. Keduanya dinilai menjadi pemasok senjata bagi kelompok teroris yang melakukan perampokan bersenjata di Bank CIMB Niaga di Medan – Sumatera Utara pada Rabu, 18 Agustus 2010.
Walaupun senjata yang digunakan oleh kelompok teroris dalam perampokan tersebut berasal dari Heri dan Abdul, namun Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang menilai bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur tindak pidana terorisme. Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara keduanya menilai bahwa perbuatan keduanya hanya memenuhi unsur dalam Dakwaan ketiga Jaksa yaitu Undang-undang darurat tentang “secara bersama-sama tanpa hak menyerahkan menguasai dan membawa senjata api”. Selain itu, Majelis Hakim juga memangkas pidana penjara kepada keduanya menjadi 4 (empat) tahun penjara.
Pola perbedaan antara tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan putusan Majelis Hakim dalam kasus Heri Kuswanto dan Abdul Haris Munandar ini adalah adanya satu perbuatan (menjual senjata kepada kelompok teror) namun menerapkan dua aturan yang berbeda. Jika Jaksa menyatakan terbukti Undang-undang Terorisme, namun majelis Hakim menilai terbukti Undang-undang Darurat.
Berikut diagram perbedaan pandang antara tuntutan Jaksa dan putusan Hakim dalam contoh kasus-kasus diatas:
Catatan:
Dalam kasus-kasus di atas terlihat bahwa independensi Hakim sangat terjaga, sehingga tidak serta mengikuti atau sepakat dengan tuntutan Jaksa (baik peristiwa, delik atau jumlah pidana). Walaupun para majelis Hakim tersebut sangat familiar dengan “SE-003/A/JA/05/2002 tentang Perubahan atas Pedoman Penuntutan Kejaksaan untuk Pidana Khusus”, yang pada pokoknya menyebutkan bahwa Jaksa Penuntut Umum harus mengajukan banding jika vonis yang dijatuhkan Hakim kurang dari 2/3 tuntutan Jaksa, tapi menjadi berbeda untuk menegakkan keadilan adalah bukan hal yang tabu untuk dijalankan oleh Hakim-hakim tersebut.
Dalam kasus-kasus diatas, Jaksa Penuntut Umum juga cukup berhati-hati dengan melapis dakwaan dengan beberapa pasal (ada dakwaan yang berbentuk subsidairitas, ada juga yang berbentuk alternatif), baik mencantumkan tidak hanya satu saja pasal-pasal dalam aturan (undang-undang) yang sama, tapi juga pasal-pasal dalam peraturan perundangan yang lain.
*) Peneliti utama pada Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) yang melakukan riset dengan menghadiri persidangan tindak pidana terorisme di berbagai peradilan tingkat pertama sejak tahun 2005.