Publik pasti masih belum lupa ketika dihebohkan perilaku minus Herry Wirawan, yang melakukan pemerkosaan terhadap 13 santriwati. Bahkan ada di antara korbannya itu sampai melahirkan. Sumpah serapah pun dialamatkan langsung kepada Herry. Publik melihat tidak ada kebaikan yang dibuat oleh sosok yang seharusnya menjadi pengayom ini. Herry tidak peduli dengan beban superberat yang disandang anak,istri,orangtua korban. Dia juga lebih tidak peduli lagi dengan penderitaan korban kebiadabannya itu.
Ketika Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis seumur hidup, publik merasa hal itu tidak sepadan dengan penderitaan para korban. Lebih menyakitkan hati lagi, restitusi sebesar Rp331 juta dibebankan kepada negara. Bayangkan, sudah merusak masa depan anak-anak yang tak bersalah, masih juga merusak anggaran negara.
Kemudian, upaya banding jaksa ke Pengadilan Tinggi Bandung dikabulkan. Majelis hakim mengoreksi total vonis itu pada Senin, 4 April 2022. Sehingga, sang predator seksual itu divonis hukuman mati. Bahkan aset-aset miliknya dirampas oleh negara untuk membayar restitusi.
Hanya saja hukuman mati di negeri ini memang masih sarat kontroversial. Bagi yang menentang, mati hidup itu adalah urusan Tuhan, tidak sepantasnya nyawa manusia dicabut oleh manusia juga. Alasan lain, hukuman itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Manusia tidak boleh mengambil prerogatif Tuhan.
Buat yang pro hukuman mati, hal itu sah-sah saja kok karena memang diatur dalam hukum positif negeri ini. Yang pasti, majelis hakim yang dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi tentulah tidak sembarangan menjatuhkan vonis tersebut.
Ada pertimbangan kuat untuk mengetuk palu hukuman maksimal tersebut. Kejahatan Herry Wirawan ini termasuk kejahatan sadis dan paling serius. Perbuatan dia keji dan kejam serta mengguncang hari nurani kemanusiaan. Sebab dia melakukan itu secara sadar dan ada unsur kesengajaan. Vonis hukuman mati untuk Herry menjadi pesan yang sangat jelas bagi penjahat seksual.
Dalam pandangan praktisi hukum Januardi Haribowo, putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut layak mendapatkan apresiasi. Dengan mempertimbangkan jumlah korban dan efek yang ditimbulkan oleh pelaku sungguh luar biasa, sehingga cukup alasan untuk dapat dikenakan hukuman pidana maksimal.
Baca juga: MUI Jabar Dukung Vonis Mati Bagi Herry Wirawan
Menurut Januardi, penerapan hukum pidana maksimal Pasal 76d Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak wajar diberlakukan jika mengakibatkan dampak serius terhadap korban, antara lain depresi berkepanjangan, beberapa di antaranya bahkan melahirkan anak.
Terlebih, pelaku berkedok sebagai pendidik, suatu profesi yang seharusnya mengemban kepercayaan dan tanggung jawab yang tinggi. Sehingga ketegasan majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung dapat dimaknai sebagai tegaknya supremasi dan kepastian hukum bukan hanya kepada masyarakat namun juga bagi dunia pendidikan.
Bahkan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid mengaku setuju dengan vonis mati tersebut. Menurutnya, seperti cuitan di akun Twitternya, itu sudah sesuai dengan perundang-undangan yang ada.
Baca juga: Pascavonis Mati, Herry Wirawan Dalam Kondisi Baik
Terkait hukuman mati, sejatinya memang sudah jadi pro kontra di internal mahkamah konstitusi saat memutuskan vonis mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Putusan nomor 2-3/PUU-V/2007 itu tidak bulat terkait dengan hukuman mati yang diatur dalam UU Narkotika. Putusan itu dibacakan dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi pada 23 Oktober 2007 dan diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum pada 30 Oktober 2007.
Empat hakim konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Yang tidak setuju hukuman mati intinya mengatakan penjatuhan hukuman mati bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin Pasal 28a dan Pasal 281 UUD 1945 yang memasukkan hak untuk hidup sebagai salah satu hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun. Sedangkan yang mendukung menyebut hukuman mati tak bertentangan dengan konstitusi.
Faktanya, setelah 15 tahun berlalu sejak putusan MK, hakim masih terus menjatuhkan hukuman mati. Kasus Herry Wirawan contohnya.
Selain itu, terdapat sekitar 50 pasal yang tersebar di 12 undang-undang yang mengatur tentang pelanggaran yang dapat dihukum mati. Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dihukum mati antara lain makar, pembunuhan berencana, kejahatan penerbangan, perdagangan narkotika, korupsi, terorisme, pelecehan seksual anak-anak, dan kejahatan internasional.
Pertimbangan yang sering digunakan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati ialah agar menimbulkan efek jera, kendati hal itu tak sepenuhnya benar. Profesor Jeffrey Fagan dari Columbia University, Amerika Serika, saat menjadi saksi pemohon di MK menyatakan bahwa dari berbagai kajian ilmiah menunjukkan hukuman mati tidak berpengaruh terhadap efek jera. Meski sudah banyak yang dijatuhi hukuman mati, kejahatan tetap berlangsung.
Deret tunggu eksekusi
Dalam catatan Institute for Criminal Justice Reform, per November 2021 jumlah terpidana mati yang menunggu dieksekusi naik 13% jika dibandingkan dengan angka pada 2020. Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan pada 2020 ada 355 terpidana mati yang masuk deret tunggu untuk dieksekusi. Sedangkan per November 2021 jumlah itu bertambah 49 orang menjadi 404 terpidana.
Sehingga, vonis mati bagi Herry belum otomatis menjadi penutup bagi perjalanan hidupnya. Selain antre pelaksanaan eksekusi, masih ada upaya hukum ataupun upaya hukum luar biasa yang bisa dia jalani, yakni kasasi dan peninjauan kembali. Kalaupun dia masih tidak puas dengan putusan di upaya hukum, konstitusi masih membuka ruang abolisi, amnesti, dan grasi.
Terlepas dari pro kontra, hukuman mati rasanya sah-sah saja bagi pelaku kejahatan yang keterlaluan. Bandar narkoba sudah selayaknya dieksekusi karena perbuatannya sudah merusak. Begitu juga dengan pemerkosa atau predator seksual terhadap anak-anak. Tidak boleh ada tempat bagi mereka di muka bumi ini.
Urusan mati itu memang urusan Tuhan sebagai pemilik kehidupan tapi mengeksekusi kejahatan itu adalah urusan para algojo. Bagi yang menentang hukuman mati terhadap Herry, apakah masih akan teriak terpidana tidak boleh dihukum mati kalau ada anggota keluarga mereka yang menjadi korban?. Masihkan mereka bisa tegar melihat pelaku kejahatan seksual itu tersenyum mendengar vonis yang menganulir hukuman mati? Kejahatan itu timbul karena ada niat dan kesempatan dan memang tak akan hilang hanya karena hukuman mati. Tapi yang pasti, satu orang jahat lenyap dari muka bumi.