• April 20, 2024 1:12 am

Sengkarut Kriteria Penceramah Radikal di Mata Negara

Sekretaris BPET MUI mengatakan rencana pemetaan masjid terkait radikalisme masih sebatas rencana, belum ada rancangan format hingga program teknisnya

Jakarta, CNN Indonesia

Arahan khusus Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) kepada para istri anggota TNI-Polri agar tidak mengundang penceramah radikal untuk mengisi kegiatan agama beberapa lalu ternyata masih berbuntut panjang.

Banyak pihak lantas meminta Jokowi untuk menjelaskan soal penceramah radikal yang disebutnya tersebut.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kemudian merespons desakan masyarakat itu dengan mengeluarkan kriteria atau ciri penceramah radikal. Namun, BNPT tak merinci siapa saja nama-nama penceramah radikal itu.

Direktur Pencegahan BNPT Jenderal Ahmad Nurwakhid menyebut ada lima indikator untuk melihat seorang penceramah masuk kategori radikal.

Pertama, mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah. Kedua, mengajarkan paham takfiri atau kerap mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.

Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah. Hal itu dibuktikan dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara. Caranya melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks.

Lalu keempat, penceramah itu memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman. Dan terakhir, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifan lokal keagamaan.

Lagi-lagi kriteria yang disampaikan BNPT itu justru mengundang polemik, terutama kriteria ketiga yakni soal sikap antipemimpin atau pemerintah yang sah. Dari mulai PP Muhammadiyah, Ketua MUI, hingga YLBHI mempertanyakan maksud dari kriteria tersebut. Utamanya adalah jangan sampai kritik terhadap pemerintah kemudian disematkan sebagai radikalisme.

Menanggapi persoalan tersebut, Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai pemerintah harus berhati-hati dalam mengapitalisasi persoalan radikalisme di Indonesia, termasuk soal penceramah radikal.

Ia mengakui bahwa UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memang berulang kali menyebut dan menggunakan diksi “radikalisasi”. Namun UU tersebut sama sekali tidak menemukan definisi dari radikalisme itu sendiri.

Konsekuensi atas aturan itu, lanjut dia, belum ada lembaga negara yang secara sah dapat menentukan siapa saja yang radikal dan tindakan apa yang bisa dilakukan kepadanya.

“Radikalisme tidaklah sama dengan terorisme, bahkan BNPT pun sebenarnya tak punya legitimasi untuk menentukan kriteria radikal maupun ekstrem dan siapa saja yang harus diwaspadai,” kata Khairul kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/3).

Khairul turut mengkritisi kriteria penceramah radikal versi BNPT belum begitu jelas. Terlebih lagi, terdapat salah satu kriteria yang merumuskan sikap terhadap pemerintah sebagai ciri penceramah radikal. Baginya, kriteria itu akan problematik jika tak dirumuskan secara jelas, terkait makna “membangun sikap antipemerintah” tersebut.

“Sebenarnya, apa atau siapa yang ingin diatur? Soal metode ceramahnya? si penceramahnya, ataukah isi ceramahnya? Ini belum jelas,” kata dia.

Sementara itu, Khairul menyoroti para penceramah dan pengundangnya tidak berada di ruang hampa. Di baliknya, pasti ada persoalan sosial, politik dan ekonomi yang harus direspons.

Ia meyakini pemerintah berniat baik dengan mengeluarkan kriteria penceramah radikal itu. Terlebih kini umat makin kegalauan melihat masyarakat yang makin reaktif dan intoleran.

Namun, Ia menyarankan sebaiknya pemerintah tidak mengabaikan pentingnya dasar hukum yang tepat dan kuat jika ingin melakukan penertiban.

“Rezim terbaik sekalipun sesuai konstitusi hanya akan berkuasa paling lama 2×5 tahun. Siapa bisa menjamin ketentuan seperti yang disusun BNPT saat ini, tak dapat digunakan untuk tujuan yang buruk di masa depan?” kata dia.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis turut mengutarakan harapannya agar penceramah yang mengkritik pemerintah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar alias mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan jangan dicap radikal.

Meski demikian, Ia memastikan MUI tegas menolak penceramah yang membangkang terhadap negara. Terlebih lagi penceramah tersebut anti terhadap ideologi negara Pancasila.

“Ya. Kita tak suka penceramah yang membangkang negara dan anti-Pancasila, yang itu pasti melanggar hukum Islam dan hukum nasional kita,” kata Cholil.

Baca halaman selanjutnya soal sertifikasi penceramah…


Usulan Sertifikasi Penceramah

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Sumber: CNN Indonesia | Sengkarut Kriteria Penceramah Radikal di Mata Negara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *