Nama ustaz Syamsudin Uba mungkin pernah menjadi sorotan ketika sebuah masjid di Jakarta Pusat disinyalir menjadi tempat perekrutan pendukung ISIS pada awal 2016. Ustaz asal Alor, Nusa Tenggara Timur tersebut kala itu memimpin sebuah pengajian di masjid Asy Syuhada yang membahas soal negara Islam di Suriah. Media asal Australia ABC sempat merekam dan menulis laporan soal pengajian tersebut. Laporan ABC sontak membuat pemerintah kecolongan karena pengajian berisi ideologi radikal terjadi dekat sekali dari istana—simbol kekuasaan.
Syamsudin bukan orang baru dalam urusan syiar Islam. Ustaz berusia awal 40-an tersebut adalah salah satu inisiator deklarasi mendukung ISIS di Bundaran Hotel Indonesia pada Maret 2014. Satu inisiator lainnya adalah Bahrumsyah, yang kini dikabarkan tewas di Suriah. Syamsudin sempat ditangkap oleh Polda NTT dan Densus 88 karena diduga menyebarkan propaganda ISIS dalam rangka merekrut simpatisan. Ia dibebaskan setelah lima hari di tahanan karena tidak ada bukti.
“Saat kamu sampai di sana [Suriah], Insya Allah, kamu tidak perlu lagi membayar uang sewa rumah, kamu tidak perlu membayar tagihan listrik dan air,” kata Syamsudin di video tersebut. “Kamu akan mendapat tunjangan setiap bulan dan layanan kesehatan gratis.”
Dua tahun setelah kejadian di masjid Asy Syuhada tersebut, Syamsudin seperti hilang dari pemberitaan. Namun sejak kejadian tersebut, pihak intelijen terus meningkatkan pengawasan di sejumlah masjid dan pesantren di seantero negeri. Beberapa waktu lalu Badan Intelijen Negara (BIN) dan Yayasan Perhimpunan Pengembangan Pesantren Dan Masyarakat mengatakan sebanyak 41 masjid di lingkungan pemerintahan menjadi tempat persebaran ideologi radikal. Sebanyak 17 masjid tersebut masuk dalam kategori parah.
Bagaimana sebetulnya cara pemerintah mengukur kadar radikalisme tersebut?
Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, mengatakan tingkat radikalisme diukur dari dakwah yang disampaikan khatib dalam ceramah salat Jumat. Dakwah di sejumlah masjid, yang menurut BIN terindikasi radikal tersebut kerap berisi ajakan untuk berperang ke Suriah atau Marawi, Filipina Selatan, serta disampaikan dengan penggalan ayat-ayat Al Quran.
“[Ada] ajakan ke Suriah, mendorong ke Marawi,” kata Wawan dikutip media. “Kemudian memelintir ayat-ayat tanpa tahu sebab-sebab mengapa ayat itu muncul. Jadi ayat-ayat perang disampaikan dengan dipelintir, menjadi agitasi massa.”
Yayasan Perhimpunan Pengembangan Pesantren Dan Masyarakat menggunakan beberapa kriteria lain buat mengukur tingkat radikalisme dalam sebuah ceramah. Pertama sikap pendakwah terhadap ideologi negara. Kedua sikap mereka terhadap pemimpin nonmuslim. Indikator ketiga adalah sikap para pendakwah terhadap agama lain. Di setiap kriteria tersebut, ada tiga tingkatan berbeda untuk mendeskripsikan seberapa parah radikalismenya.
Mengukur tingkat radikalisme seseorang atau suatu lembaga agaknya menjadi rumit. Ketika Indonesia menjamin kebebasan berpendapat dan berkumpul, seharusnya dakwah tetaplah berdakwah bukan? Namun ternyata tidak semudah itu. Dalam UU anti terorisme yang disahkan Mei lalu, terutama lewat pasal 13A, kepolisian sudah bisa memproses siapa pun yang terindikasi mendukung, bersimpati, atau bergabung dengan jaringan teror meski tidak memiliki niat atau rencana untuk melakukan serangan. Hal tersebut termasuk menyebarkan materi, ujaran, dukungan atau simpati kepada kelompok teror dengan tujuan untuk menghasut atau merekrut. Jika terbukti, seseorang bisa diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun.
Syamsudin Uba bisa saja dijerat memakai beleid tersebut. Namun hingga saat ini ia tetap menolak jika dianggap sebagai pendukung ISIS. Ia mengaku tak pernah mendukung ISIS, karena organisasi militan itu secara struktural tidak pernah ada di Indonesia. Kendati demikian ia membenarkan jika selalu memberi dakwah soal sistem kekhalifahan.
“Kami tidak mengajak orang untuk menentang sistem di Indonesia, tapi kembali ke Al-Quran,” kata Syamsudin kepada VICE Indonesia. “Saya tidak menyebarkan ajaran ISIS di Indonesia.”
Direktur Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Adhe Bhakti mengatakan persebaran radikalisme tidak cuma terjadi di masjid, tapi juga pesantren dan kelompok pengajian. Adhe beberapa kali meneliti pengajian dan ceramah dengan mendatangi langsung kelompok-kelompok yang diduga menjadi pendukung ISIS. Dari penelitiannya, beberapa masjid punya fungsi berbeda-beda. Semua pada dasarnya tetap memiliki tujuan sama, agar ideologi ISIS dapat menyebar.
“Beberapa masjid dipakai hanya untuk menyebarkan ideologi,” kata Adhe. “Ada beberapa dipakai untuk konsolidasi, bahkan ada pengurus masjid yang berperan sebagai agen perjalanan untuk mereka yang mau pergi ke Suriah.”
Meski aplikasi pesan instan disinyalir menjadi tempat favorit perekrutan suporter ISIS, Adhe mengatakan pertemuan langsung antar pendukung ISIS masih terjadi. Hal tersebut, ujar Adhe, diperlukan untuk menjalin rasa saling percaya.
“Untuk kelompok radikal pertemuan tatap muka itu penting karena mereka membangun rasa percaya setelah bertemu,” kata Adhe.
Menanggapi temuan beberapa lembaga tersebut, Abdul Halim dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengatakan definisi radikal itu sendiri menjadi kabur. Ia khawatir ketika stigma radikal terlanjur ditempelkan, maka status tersebut jadi ruang manuver alat negara untuk membungkam pemeluk Islam yang kritis pada pemerintah.
“Jangan sampai dengan adanya stigma radikal, lalu muncul upaya pembatasan-pembatasan melalui kekuasaan,” kata Halim kepada VICE. “Itu kemunduran namanya.”
Artikel ini telah dimuat di Vice.com, 4 Desember 2018
[…] Artikel Ini Telah Dimuat: Radicalism Studies […]