Jakarta, CNN Indonesia —
Selasa (8/2) pagi, situasi desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah tiba-tiba mencekam karena kedatangan bermobil-mobil pasukan polisi.
Pasukan polisi berseragam dan perlengkapan komplet datang ke kampung yang wilayahnya akan menjadi bagian dari tempat penambangan batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener.
Bendungan itu merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dan warga Wadas diketahui sudah melakukan keberatan sejak setidaknya pada enam-tujuh tahun lalu.
Tensi emosi pada Selasa itu pun menjadi memanas, setidaknya bagi warga Wadas. Polisi–baik yang berpakaian seragam maupun berpakaian bebas–menangkap sejumlah warga yang diklaim penegak hukum sebagai provokator. Hingga Rabu (9/2) pagi kemudian terdata setidaknya 64 warga Wadas dan pendamping hukumnya yang dibawa polisi.
Polda Jateng mengklaim pasukan yang dikerahkan itu merupakan buah dari permintaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang hendak melakukan pengukuran tanah.
Beda pandangan terkait kehadiran aparat di sana pun muncul. Sebagian kelompok masyarakat sipil yang membantu advokasi masyarakat setempat mengatakan bahwa polisi bertindak intimidatif dan sewenang-wenang. Mereka mencopoti spanduk hingga menangkap warga tak bersalah di Wadas. Sementara, polisi membantah tuduhan itu.
Siapa benar? Dan, apa yang bisa dimaknai dari peristiwa di Wadas itu?
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menilai upaya-upaya yang dilakukan kepolisian seolah mencoba mengintimidasi masyarakat yang menolak pembangunan itu. Ia mengatakan, cara-cara represif tersebut serupa dengan apa yang dilakukan rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden kedua RI Soeharto ketika menghadapi penolakan pembangunan.
“Tentu mengingatkan kita pada era orde baru, (misalnya) saat pembangunan Waduk Kedung Ombo, di Jawa Tengah juga,” kata Bambang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (8/2).
Menurut Bambang, cara-cara represif dengan menggunakan pola-pola yang intimidatif tidak dapat dibenarkan untuk menyelesaikan suatu permasalahan dalam bernegara.
Dengan langkah yang telah dilakukan, kata dia, pemerintah seolah menunjukkan arogansi kekuasannya terhadap masyarakat ketika erhadapan dengan negara. Seharusnya, aparat pemerintah ataupun penegak hukum dapat mengedepankan cara-cara persuasif.
Bambang menjelaskan bahwa pengerahan aparat kepolisian sejatinya memang dapat dilakukan jika merujuk pada undang-undang terkait. Namun, upaya tersebut tetap harus mengikuti koridor standar operasional prosedur (SOP) di Korps Bhayangkara.
Aparat, kata dia, tak dapat melakukan tindakan-tindakan di luar kewenangan dalam melakukan pengamanan. Dalam kasus Wadas, Bambang menilai bahwa Polri berlebihan ketika mengerahkan personel bersenjata lengkap untuk mengamankan lokasi. Hal tersebut, dinilai memprovokasi masyarakat sehingga tak lagi damai.
“Pengerahan aparat bersenjata tentunya harus terukur. Seberapa potensi kericuhan, bahaya, dan sebagainya. Yang dihadapi adalah rakyat sendiri loh, mereka bukan kelompok bersenjata, bukan kelompok teroris,” katanya.
Perihal memori ‘pengusiran’ warga desa demi pembangunan Waduk Kedung Ombo pun dikisahkan kembali oleh jaringan Gusdurian lewat sebuah utas atau thread.
“14 Januari 1989, warga kelabakan. Perlahan-lahan volume air mulai meninggi, menggenangi kampungnya. Tingginya tak lagi beberapa milimeter, karena sudah sampai semata kaki,” demikian utas Gusdurian yang dibuat pada Selasa (8/2) mulai pukul 18.07.
“Kisah #MelawanWadas dan Kedung Ombo memiliki kesamaan di mana petani harus terusir dari tanahnya yang begitu subur. Tanah yang bisa membuat ‘tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” demikian kelanjutan dari utas tersebut.
Analisis Potensi Konflik Sebelum Terjunkan Pasukan
Terpisah, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai pengerahan aparat kepolisian menuju desa Wadas di tengah proses sengketa lahan cenderung berpotensi menimbulkan konflik.
Polisi, kata Sugeng, seharusnya menyadari bahwa keberadaan mereka untuk melakukan tindakan-tindakan di atas tanah yang belum sepenuhnya dibebaskan berpotensi menimbulkan perlawanan warga sehingga membuat pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Dalam situasi yang belum pasti ini, Polda Jateng harus mencermati dan menahan dulu pengerahan personel bersenjatanya,” ucap Sugeng saat dihubungi.
“Potensi konflik dan pelanggaran HAM cukup besar bila ada perlawanan dari warga yang sama-sama mengklaim milik hak,’ tambah dia.
[Gambas:Video CNN]
Baca halaman selanjutnya, mengingat kembali perintah Jokowi soal pengawalan investasi.
Mengingat Lagi Perintah Jokowi ke Polisi soal Kawal Investasi
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Sumber: CNN Indonesia | Pengepungan Desa Wadas dan Memori Kelam Pengusiran Era Orde Baru