RadicalismStudies.org | Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikasilisasi (PAKAR)
INDONESIA dikenal sebagai negara maritim, mengacu pada luas wilayah laut yang mencapai 5,8 juta km persegi. Untuk mengamankan jutaan kilometer persegi wilayah laut tersebut tidaklah mudah, perlu strategi dalam memetakan masalah atau potensi konflik yang ada.
Tokoh militer Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf Armada Barat Angkatan Laut RI Laksamana Muda TNI (Purn) Rosihan Arsyad merilis buku terbarunya berjudul Indonesia’s Maritime Interest, Cooperation and Capacity Building. Buku setebal 103 halaman yang diterbitkan oleh Lembaga Pembangunan Masyarakat Indonesia (LPMI) itu menjabarkan tentang letak strategis perairan Indonesia dalam mengendalikan jalur komunikasi laut bagi kelancaran ekonomi regional dan internasional.
MI/Duta
Buku karya Rosihan Arsyad itu terdiri atas delapan bab yang mengeksplorasi topik dari masalah maritim Indonesia hingga maritim regional dengan fokus khusus pada Laut China Selatan.
Pada bab pertama, buku itu membahas soal pentingnya menjaga keamanan pengiriman melalui Selat Malaka. Rosihan mencatat sepanjang periode 1999-2005, sedikitnya terjadi 840 serangan perampokan bersenjata di perairan Indonesia, Selat Malaka dan Singapura. Keberadaan Bakamla menurut Rosihan bukan hanya sebagai ‘penjaga pantai Indonesia’. Bakamla memiliki tugas yang lebih luas, yakni melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan, menetapkan kebijakan nasional, menyelenggarakan sistem peringatan dini, pengaman, pengawasan, pencegahan, dan penuntutan hukum, mengoordinasikan patroli perairan, memberikan dukungan teknis, serta menawarkan bantuan pencarian dan penyelamatan.
Mengingat pentingnya Selat Malaka bagi stabilitas dan keamanan regional dan global serta kepentingan ekonominya, sangat penting untuk membangun pemahaman bersama tentang ancaman terhadap keselamatan dan keamanan di jalur komunikasi laut yang vital tersebut. Tentu sama pentingnya bagi negara-negara pesisir dan masyarakat internasional untuk berkomitmen menjaga Selat Malaka dari perampokan bersenjata di laut, polusi, perdagangan narkoba dan senjata, penyelundupan komoditas, terorisme maritim, transportasi pembalakan liar, dan keselamatan navigasi secara keseluruhan di selat tersebut.
Kontribusi internasional akan lebih efektif jika tidak diwujudkan dalam bentuk kehadiran militer di Selat Malaka, tetapi sebaliknya berfokus pada pengembangan kapasitas, pertukaran informasi, peningkatan bantuan navigasi, pelaksanaan survei hidrografi, pemindahan bangkai kapal, dukungan terhadap Sistem Identifikasi Selat Malaka, pengembangan fasilitas sistem pengawasan maritim terpadu, serta promosi pembangunan masyarakat dan ekonomi pesisir.
Namun, faktor yang paling penting tetaplah upaya bersama dari tiga negara pesisir–Indonesia, Malaysia, dan Singapura–sebagai landasan dari usaha itu. Semua langkah harus dikembangkan di sekitar inisiatif negara-negara pesisir tersebut dan ASEAN. (Hal 14).
Pada bab kedua, Rosihan membahas mengenai upaya Indonesia dalam pengaturan keamanan. Ia menjelaskan upaya keamanan maritim Indonesia semakin rumit karena tidak adanya kebijakan perencanaan kelautan terpadu dan strategi keamanan maritim yang komprehensif. Sektor maritim kini lebih dari sekadar pengiriman dan pelabuhan, menjadi semakin luas dan kompleks dengan kemajuan teknologi dan penemuan sumber daya laut baru. Pengaturan keamanan maritim terpadu harus mencerminkan tantangan itu. Tujuannya untuk memaksimalkan manfaat sambil meminimalkan pemborosan dan tumpang tindih dalam upaya.
Untuk mengatasi masalah terebut, dibentuklah Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Namun, lembaga itu tidak memiliki kendali komando yang komprehensif atas berbagai lembaga yang terlibat dan strategi keamanan maritim yang kohesif. Lembaga-lembaga anggota untuk sementara menugaskan sebagian kecil armada mereka ke Kelompok Keamanan Laut dengan operasional Bakorkamla melalui Komando Armada Timur dan Barat, sementara sebagian besar sumber daya tetap tidak terkoordinasi dan kurang dimanfaatkan, sering kali mengakibatkan wilayah perairan Indonesia tidak dipatroli.
Bakorkamla ‘baru’ yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 dimaksudkan untuk menciptakan pengaturan keamanan terpadu. Namun, saat ini Bakorkamla tersebut tidak memiliki dukungan logistik langsung dan kemampuan operasional. Mungkin lebih cocok untuk pembuatan kebijakan yang menyinergikan strategi keamanan maritim dengan kepentingan nasional lainnya. Wajar saja jika dikatakan bahwa hanya Angkatan Laut Indonesia yang memiliki pengaturan keamanan maritim strategis terpadu.
Selanjutnya, bab ketiga membahas perspektif Indonesia terhadap kerja sama keamanan di kawasan Asia-Pasifik. Rosihan mengungkapkan pandangan Indonesia terhadap kerja sama keamanan maritim di kawasan Asia-Pasifik berfokus pada kolaborasi dengan negara lain untuk mendorong terciptanya suatu kawasan yang stabil, mandiri, dan negara berdaulat yang saling menghormati yurisdiksi dan kedaulatan masing-masing. Lalu, terciptanya pemanfaatan sumber daya ekonomi maritim secara adil oleh negara-negara pesisir berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan adil.
Bab keempat membahas mengenai kepentingan maritim Indonesia dan kebutuhannya untuk membangun kapasitas maritim. Bagi Indonesia, menjaga keutuhan wilayah, kemerdekaan politik, dan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi kepentingan dan kebijakan nasionalnya. Namun, sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Indonesia juga memiliki kewajiban terhadap masyarakat internasional, yaitu turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Mengingat pentingnya posisi geostrategis Indonesia bagi perekonomian dan perdamaian dunia serta komitmennya untuk membina stabilitas, keselamatan, dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik, penting untuk mendukung Indonesia dalam membangun kapasitas maritimnya.
Rosihan mengungkapkan pembangunan kapasitas maritim Indonesia harus difokuskan pada tiga tujuan utama. Pertama, meningkatkan kekuatan maritim ke tingkat yang dapat melindungi seluruh warga negara Indonesia dan wilayahnya, beroperasi secara efektif di perairannya untuk memastikan keselamatan dan keamanan, dan berkontribusi pada ketertiban global. Kedua, memperkuat ekonomi maritimnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memajukan pendidikan, dan mengamankan dukungan keuangan yang cukup untuk kontribusi internasional yang berkelanjutan. Ketiga, menjaga keanekaragaman hayati lautnya yang sangat besar untuk memastikan pembangunan ekonomi maritim yang berkelanjutan dan berkontribusi pada keberlanjutan ekosistem global.
Empat bab terakhir, Rosihan membahas pentingnya sea line of communication (SLOC) bagi kemakmuran dunia serta sengketa Laut China Selatan. Bahasan soal Laut China Selatan dilakukan secara mendalam. Ia membeberkan bagaimana rumitnya sengketa di Laut China Selatan serta resolusi konflik yang dapat dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan.
Secara umum, buku tersebut fokus pada isu-isu strategis seperti geopolitik, keamanan maritim, dan kerja sama antarnegara. Buku itu memberikan kita pandangan yang komprehensif tentang tantangan sekaligus peluang yang dihadapi Indonesia di kawasan maritim.
Buku itu bisa memperkaya koleksi literasi soal maritim di Indonesia. Selain itu, buku tersebut juga menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda, para akademisi, dan para pembuat kebijakan dalam memahami peran Indonesia dalam dunia maritim global. (M-3)
Judul buku: Indonesia’s Maritime Interest, Cooperation and Capacity Building
Penulis: Rosihan Arsyad
Penerbit: Lembaga Pembangunan Masyarakat Indonesia (LPMI)
Tahun terbit: Agustus 2024
Jumlah halaman: 103
Artikel ini telah dimuat di mediaindonesia.com dengan Judul “Membedah Kekuatan Maritim Indonesia” pada 2024-10-27 05:15:00