• October 9, 2024 11:44 am

Menggagas Pembaruan Fatwa Terorisme

MAJELIS Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa Terorisme No 3 Tahun 2004, fatwa yang lahir beberapa waktu setelah bom Bali I 2002 dan peristiwa 11 September 2001, merupakan bentuk upaya MUI merespons aksi terorisme saat itu. Pengharaman bunuh diri, teror, dan pemaknaan jihad serta terorisme menjadi pokok bahasan dalam fatwa tersebut.

Fatwa berupaya meluruskan diksi ‘jihad’ yang dalam konteks keagamaan memiliki makna etimologi yang luhur, yakni bersungguh-sungguh, tetapi faktanya kelompok teror membajak terminologi jihad menjadi perang semata (qital).

Fatwa terorisme yang digawangi Komisi Fatwa MUI kala itu, KH Ma’ruf Amin, juga memberikan perbedaan definisi antara jihad dan terorisme. Secara khusus, untuk menjawab problematik saat itu, yakni serangan teror dengan menggunakan metode istisyhadiyah (bunuh diri).

Lalu bagaimana dengan situasi hari ini, apakah tindakan terorisme hanya identik dengan bom bunuh diri? Memang betul bahwa ujung dari terorisme di beberapa negara ialah serangan bom bunuh diri, tapi apakah serangan terorisme hanya bom bunuh diri? Bukankah ada berbagai macam tindakan selain bom bunuh diri yang masuk kategori tindakan terorisme?

Kini, aksi terorisme Indonesia dalam banyak hal telah berubah pola dan motif tindakan terorisme dan target tindakan terorisme. Konsepsi far enemy dan near enemy membuat serangan teror mengalami perubahan bentuk, target sasaran, dan metode serangan pun berubah, yang sebelumnya hanya mengandalkan serangan dengan melibatkan jaringan, saat ini berkembang modus baru aksi terorisme dengan satu aktor (lone wolf), ujung serangan terorisme pada aktor berjaringan maupun lone wolf berujung pada bentuk serangan berupa, pengeboman, penyerbuan, dan penusukan.

Dari berbagai macam dinamika perubahan tersebut, negara telah memberikan pengaturan berkenaan dengan delik pidana terorisme saat ini. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memberikan aturan delik pidana perencanaan terorisme, mengorganisasi tindakan terorisme, menjadi anggota organisasi terorisme, rekrutmen terorisme, pendanaan terorisme, pelatihan terorisme, dan pidana tambahan jika melibatkan anak.

Respons negara berusaha untuk mencegah terjadinya tindakan terorisme dan tumbuh berkembangnya paham radikalisme juga diperkuat dengan adanya rencana aksi nasional. Peraturan Presiden No 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme yang mengarah ke terorisme ialah regulasi yang berisi langkah preventif tindakan kekerasan.

Negara telah memberikan respons atas pergeseran terorisme dua dekade terakhir. Namun, penguatan respons secara aktual dari sisi hukum Islam masih tetap diperlukan. Mengapa demikian? Kaidah hukum Islam menyebutkan perubahan hukum terjadi karena adanya perubahan situasi dan kondisi serta penyebabnya. Situasi telah berubah dan perlu ada hukum baru. Apabila dengan pendekatan sosiologis setidaknya diperlukan respons hukum atas gejala atau fenomena sosial berupa realitas empiris.

 

 

Daftar masalah terorisme

Realitas empiris maşalah terorisme di Indonesia dalam kajian Badan Nasional Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI sangatlah beragam. Setidaknya, apabila dikelompokkan pada problematik hulu dan hilir dengan berbagai derivasi tindakan terorisme, realitas empiris tersebut belum dijangkau Fatwa Terorisme.

Pertama, terorisme bermula dari pemikiran radikal yang melahirkan sikap intoleran dan radikal teror serta takfiri. Pandangan tersebut menjadi motivasi pelaku teror. Pemikiran radikal-teror yang menggelayuti pelaku terorisme yang berasal dari Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Anshar Daulah, ISIS, hingga Al Jamaah Al Islamiyah ialah mendirikan negara Islam. JI dalam strategi tamkin terbaru yang berisi tujuh butir berujung pada penegakan negara Islam. Organisasi terorisme inilah yang mengingkari Pancasila, Undang-Undang 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kebinekaan.

Kedua, dalam level terror act, terdapat enam level aktor dalam aksi terorisme; pendana-pasif, pelaku teror, pendukung aktif, aktif di jaringan teror, aktif pemikiran, dan ideolog. Kasus-kasus terorisme di Indonesia tidak pernah lepas dari peran agitator dan ideolog, internalisasi nilai ekstrem dan menjadikan seseorang menjadi pengantin terdapat pada ideolog. Ceramah dan tulisan Aman Abdurahman dalam berbagai versi menjadi pemicu jaringan teror atau individu melakukan aksi teror.

Ketiga, pemanfaatan media sosial untuk kepentingan aksi terorisme. Media sosial memiliki fungsi antara lain propaganda ideologi teror, rekrutmen pelaku teror dan jaringan terorisme, pendanaan teror, pelatihan tindakan terorisme, perencanaan aksi, dan konsolidasi jaringan. MUI telah memiliki Fatwa No 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial, tetapi sayangnya fatwa tersebut belum menyentuh secara spesifik penggunaan media sosial untuk terorisme. Dalam aksi terorisme dengan metode lone wolf, pelaku teror mengalami kristalisasi ideologi melalui media sosial. Pelaku penyerangan Mabes Polri 2021 dan penyerangan Pos Polisi Kartasura, 2019, ialah fakta dua kasus dengan pelaku terpapar melalui media sosial. Belum lagi kasus petempur ISIS asal Indonesia yang berswafoto di medan pertempuran Suriah.

Keempat, lembaga pendidikan produsen pelaku teror. Aksi terorisme terjadi karena adanya penyuplai ideologi dan pelaku, lembaga pendidikan menjadi basis kaderisasi. Kasus terorisme yang melibatkan pelaku di Poso berasal dari lembaga pendidikan tertentu, begitu juga salah satu lembaga pendidikan di Bogor, yang menjadi selter keberangkatan ke Suriah.

Kelima, organisasi terorisme memiliki karakteristik transnasional, pembagian wilayah mantiqi oleh organisasi JI dan persebaran ISIS di berbagai belahan dunia, menjadi bukti eksistensi jejaring antarnegara. Jejaring transnasional inilah yang kemudian membesar karena banyaknya penduduk dari berbagai negara bergabung dan berafiliasi dengan organisasi terorisme. Hingga saat ini masih terdapat WNI terhubung dengan platform online caliphate.

Keenam, keberlanjutan dari karakter transnasionalisme kelompok terorisme ialah foreign terrorist fighters/foreign fighters. Jika merunut sejarah masa lalu, keterlibatan warga Indonesia dalam konflik di negara lain terjadi sejak konflik Afganistan pada 1980, lalu Filipina, Yaman, Suriah, dan Khurosan di Afganistan.

Ketujuh, keluarga menjadi unit sosial terkecil struktur negara, keluarga menjadi basis resiliensi menangkal paham radikalisme yang berkembang, baik dalam lingkungan sosial maupun lingkungan dunia maya. Hasil studi Kajian Terorisme UI setidaknya mengonfirmasi bahwa keharmonisan dan pola asuh menjadi faktor penting dalam menangkal radikalisme yang berkembang di keluarga. Sebaliknya, ketidakharmonisan keluarga menjadi kerentanan perkembangan radikalisme.

Kedelapan, silent majority dalam struktur sosial masyarakat Indonesia menjadi kendala dalam kampanye antiradikalisme. Diamnya kelompok mayoritas terhadap fenomena masyarakat menjadi seakan dominasi kelompok yang sesungguhnya minoritas mendominasi wacana kebenaran.

Kesembilan, kemajuan teknologi dewasa ini berdampak pada kejahatan siber, revolusi 4.0 menjadikan modus kejahatan terorisme beragam. Saat ini,modus aksi terorisme siber ialah pada pendanaan terorisme, penggunaan fintech dalam kasus Rizki Gunawan dan pinjaman online untuk mendanai aksi terorisme. Bukan tidak mustahil, dengan kemajuan teknologi, aksi terorisme tidak lagi menggunakan pelaku, bahan peledak, dan menarget rumah ibadah dan fasilitas keamanan seperti yang terjadi belakangan.

Kesepuluh, pembunuhan karakter (Ledeneva, 2018: 441) ialah upaya sengaja dan berkelanjutan dilakukan untuk merusak reputasi atau kredibilitas individu, kelompok, atau lembaga sosial. Upaya pembunuhan karakter oleh jaringan terorisme terlihat dalam video propaganda ISIS yang menampilkan dan mengategorikan ulama wasathiyah (wasatiah) di Indonesia sebagai ulama su. Bagi JI dalam perjuangan tamkin, menggerogoti kewibawaan musuh, dalam hal ini ulama wasathiyah, ialah bagian dari upaya mendirikan negara Islam.

Kesebelas, pendanaan terorisme ialah satu isu sentral masalah hulu dan hilir terorisme. Logistik aksi atau tindakan terorisme dapat dipenuhi dengan langkah pendanaan terorisme. Pendanaan terorisme dengan modus amal dapat mengumpulkan dana yang besar. Terjadi karena publik tidak mengetahui bagaimana profil lembaga filantropi yang mengelola dana amal tersebut, dalam kasus pendanaan teror oleh JI melalui Syam Organizer, Yayasan Abdurahman bin Auf (ABA), terlihat dengan jelas empati masyarakat digunakan untuk kepentingan mendanai pelatihan dan pengiriman anggota JI ke Suriah.

Modus pendanaan terorisme beragam, pemberian dana, menyimpan aset lalu memberikan aset untuk tindakan terorisme, dilakukan dengan mengumpulkan dana legal dan/atau ilegal, seperti mendirikan perusahaan dan pencucian uang untuk teror. Beberapa modus pendanaan tersebut dilakukan jaringan terorisme seperti JAD, ISIS, dan JI. Aktivitas legal yang kemudian dijadikan sumber pendanaan terlihat dalam kasus Parawijayanto. Di lain sisi, tindakan ilegal, kasus JI melakukan pengumpulan dana untuk tindakan terorisme melalui perampokan (fai), misalnya dalam kasus perampokan toko emas di Serang, Banten.

Kedua belas, dalam satu dekade terakhir angka pelibatan perempuan dalam aksi terorisme menjadi sangat marak. Pergeseran peran perempuan yang dahulunya bertindak sebagai supporting system dalam aksi terorisme berpindah menjadi aktor utama. Tercatat hingga saat ini lebih dari 39 kasus pelibatan perempuan dan anak. Kasus bom Surabaya 2018 dan Gereja Katedral Makassar 2021 ialah dua sampel kasus pelibatan perempuan dan anak.

Ketiga belas, aksi terorisme, individu dan kelompok, selalu mencari berbagai cara, termasuk memanfaatkan barang legal untuk serangan teror, sebut saja, bahan kimia dan drone. Penjualan bahan kimia dengan kemudahan akses melalui toko kimia dan marketplace, begitu juga halnya dengan drone. Pada konflik Suriah dan Yaman, ISIS dan kelompok Houti menggunakan drone untuk aksi teror. Pada penangkapan jaringan JI di Bekasi pada Oktober 2020, aparat menemukan drone di kediaman tersangka. Kasus KDW, anggota JAD yang melakukan jual beli dan memasok bahan kimia bagi pelaku terorisme di Indonesia pada 2018-2020.

Sederetan masalah terorisme masa kini memerlukan respons fatwa walaupun fatwa dalam sistem hukum positif Indonesia bukan merupakan rujukan hukum yang bersifat mengikat. Namun, setidaknya dalam kontraterorisme, umat Islam memiliki rujukan absah untuk mencegah kasus terorisme berkembang di Indonesia. Gagasan pembaruan fatwa terorisme ialah upaya menguatkan, menambah, dan menjelaskan Fatwa Terorisme yang telah dirumuskan sebelumnya, bukan menegasikan. Wallahu a’lam.

 

Artikel ini ialah ringkasan kajian Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme MUI Pusat.


Sumber: Media Indonesia | Menggagas Pembaruan Fatwa Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *