• May 6, 2024 7:18 pm

Kenapa Mudah Sekali Mengobral Remisi di Indonesia?

Putusan MA pada 2021 membuat syarat ketat remisi bagi kejahatan luar biasa atau kelas kakap hilang sehingga kini seolah remisi diobral, termasuk ke koruptor.

RadicalismStudies.org | Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikasilisasi (PAKAR)

Jakarta, CNN Indonesia

Andri Sobari alias Emon bisa pulang ke rumahnya di Sukabumi, Jawa Barat, usai menghirup udara bebas dari Lapas Kelas I Cirebon pada pada tanggal 27 Februari 2023 lalu.

Emon merupakan narapidana perkosaan dan pencabulan terhadap 120 anak di Sukabumi. Sejak divonis pada Desember 2014, ia total telah mendekam selama sembilan tahun di penjara untuk menanggung hukuman.

Emon awalnya mendapatkan putusan pidana 17 tahun dan 6 bulan penjara dari majelis hakim PN Sukabumi. Artinya, ia hanya menjalani masa bui separuh dari vonis. 

Emon disangkakan Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selama menjalani tahanan, Emon mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman 40 bulan 120 hari.

Hukumannya juga dipangkas berdasarkan sejumlah pertimbangan. Emon kini berstatus bebas bersyarat dan wajib melapor hingga 2028.

Dalam sejumlah pemberitaan, warga sekitar kediamannya di Sukabumi khawatir usai Emon mendapat bebas bersyarat lebih dini berkat remisi yang diterimanya. Kekhawatiran itu tentunya beralasan, karena pria berusia 33 tahun itu merupakan narapidana kasus kejahatan berat.

Pada 2014 silam, Emon mengaku telah mencabuli puluhan anak laki-laki di sekitar kediamannya. Bahkan, Pemerintah Kota Sukabumi pada Mei 2014 lalu sampai menetapkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan Emon sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

Polemik pemberian remisi bagi pelaku kekerasan seksual menuai kontroversi belakangan ini. Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini pada September 2022 lalu sempat meminta Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tidak memberikan remisi kepada pelaku kekerasan seksual yang korbannya anak-anak agar pelaku jera.

Obral remisi penjahat kelas kakap

Selain kasus kekerasan seksual, kasus kejahatan luar biasa (extraordinary crime) seperti korupsi hingga terorisme seringkali mendapatkan ‘obral’ remisi dari pemerintah.

Data Kemenkumham mencatat total 635 narapidana kasus korupsi mendapat remisi umum pada momentum HUT RI pada 2021 dan 2022 silam. Dari jumlah itu, delapan napi korupsi langsung bebas.

Sementara data Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2019 mencatat sebanyak 338 napi korupsi dapat remisi di peringatan HUT RI.

Pada September 2022 lalu, Kemenkumham juga membuat gempar usai membebaskan bersyarat 23 narapidana kasus korupsi. Para koruptor yang mendapatkan pembebasan bersyarat itu di antaranya mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama Suryadarma Ali, dan mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Ada narapidana korupsi yang mendapatkan pembebasan bersyarat lebih awal karena telah menerima remisi. Salah satunya, Pinangki. Bekas jaksa yang terseret dalam kasus terpidana BLBI Djoko Tjandra itu mendapat remisi 7 bulan. Selain itu ada pula Zumi Zola yang  juga mendapatkan total remisi tujuh bulan.

Kemenkumham juga mencatat sebanyak 50 narapidana terorisme (Napiter) mendapatkan remisi pada momentum HUT RI pada tahun 2021 lalu. Dari total 50 napiter itu, delapan napi diantaranya dinyatakan bebas.

Dalam konteks napiter, kasus paling kakap dan menjadi perhatian bahkan hingga negara tetangga adalah Umar Patek. Dia divonis 20 tahun penjara Juni 2012 karena terlibat dalam kasus bom Bali yang menewaskan 202 orang, tapi bebas pada Desember 2022, atau hanya menjalani bui 10 tahun dan enam bulan. Lagi-lagi karena ia mendapat sejumlah remisi. 

Lalu mengapa remisi seolah mudah diberikan di Indonesia? 

Aturan remisi narapidana

Dalam aturannya, para narapidana berhak mendapatkan remisi. Asalkan telah memenuhi pelbagai syarat seperti berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan.


Pinangki Sirna Malasari terseret jerat pidana terkait pengurusan pengajuan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra dari eksekusi Kejaksaan Agung atas kasus korupsi hak tagih Bank Bali. (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Permenkumham Nomor 7 tahun 2022 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat menjelaskan terdapat beberapa kategori remisi.

Pertama, remisi umum atau remisi yang rutin diberikan tiap HUT Kemerdekaan RI di tanggal 17 Agustus tiap tahunnya.

Besaran remisi umum pun bervariasi. Di antaranya pemberian remisi satu bulan bagi narapidana yang menjalani pidana selama enam sampai 12 bulan; remisi dua bulan bagi narapidana yang telah menjalani pidana selama 12 bulan lebih; tahun kedua dapat remisi tiga bulan; tahun ketiga dapat remisi empat bulan; tahun keempat dan kelima dapat remisi lima bulan; kemudian tahun keenam dan seterusnya dapat remisi enam bulan.

Kedua, remisi khusus atau remisi diberikan pada saat hari besar keagamaan tiap tahunnya. Remisi ini diberikan bagi napi beragama Islam pada Hari Raya Idulfitri, napi beragama Kristen Protestan dan Katolik pada Hari Raya Natal, napi beragama Hindu pada hari raya Nyepi, napi beragama Buddha pada hari raya Waisak.

Besaran remisi khusus yakni 15 hari bagi napi yang telah menjalani pidana selama 6-12 bulan; remisi satu bulan bagi napi yang telah menjalani pidana selama 12 bulan atau lebih; remisi satu bulan 15 hari bagi napi dipenjara empat dan lima tahun dan remisi dua bulan bagi napi yang dipenjara enam tahun.

Tak cuma remisi umum dan khusus, Pemerintah juga mengatur soal remisi tambahan. Remisi tambahan mengatur besaran remisi bisa diberikan 1/2 sampai 1/3 dari remisi umum yang diperoleh pada tahun berjalan sesuai syarat berlaku.

Syarat remisi makin mudah

Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tiga jenis kejahatan luar biasa yakni narkoba, korupsi, dan terorisme awalnya diperketat lantaran diberi syarat tambahan. Syarat tambahan ini tertuang dalam PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Aturan ini biasa dikenal dengan ‘PP aturan ketat remisi koruptor’.

Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur narapidana terorisme, narkotika, korupsi bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat jika menjadi justice collaborator atau membantu membongkar kasus yang dilakukan dan membayar lunas denda dan uang pengganti.

Namun, Pada Oktober 2021 lalu Mahkamah Agung (MA) justru mencabut syarat ketat remisi yang tertuang pada pasal-pasal di PP 99 Tahun 2012 tersebut. MA mencabut beleid itu melalui putusan perkara nomor: 28 P/HUM/2021, yang diketok pada 28 Oktober 2021.

Hasilnya PP 99 Tahun 2012 pun dibatalkan, sehingga semua terpidana kasus kejahatan berat berhak mendapatkan remisi dan tak perlu lagi menjadi justice collaborator.

Dengan dicabutnya pasal di atas oleh MA, maka pemberian remisi kembali merujuk pada PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo PP Nomor 28 Tahun 2006, dengan tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan.

Syarat pemberian remisi bagi semua napi itu antara lain berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lapas.

Tak ada aturan ketat remisi

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengamini bahwa keputusan MA membatalkan pasal di PP Nomor 99 Tahun 2012 itu membuat nihilnya aturan yang secara ketat membatasi pemberian remisi bagi pelaku korupsi, narkotika, hingga terorisme.

Padahal, aturan tersebut sebelumnya mengatur syarat remisi bagi napi kasus kejahatan luar biasa harus menjadi justice collaborator terlebih dahulu.

“Permenkumham 7/2022 sebagai follow-up putusan MA tersebut, tidak lagi mengatur syarat tertentu tersebut. Sementara UU Pemasyarakatan sendiri mengatur soal remisi secara umum saja,” kata Herdiansyah kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/3).

Herdiansyah mengatakan putusan MA itu menunjukkan politik hukum pemberantasan korupsi pemerintah kini semakin melemah. Baginya, kondisi ini seiring dengan pelemahan KPK sejak 2019 lalu.

“Kini, korupsi seolah tidak lagi menjadi kejahatan serius atau extraordinary crime sehingga korupsi cenderung diperlakukan sama dengan kejahatan lainnya. Jadi tidak mengherankan jika diskon hukum para koruptor juga diobral murah oleh negara,” kata dia.


Penjahat Kelas Kakap Perlu Dikecualikan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Artikel ini telah dimuat di www.cnnindonesia.com dengan Judul “Kenapa Mudah Sekali Mengobral Remisi di Indonesia?” pada 2023-04-24 14:20:08

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *