• March 29, 2024 12:35 pm

Mencari Dalang di Balik Kasus Wayang

BEBERAPA waktu belakangan ini media sosial disibukkan dengan kasus kontroversi ustad Khalid Basalamah (UKB) tentang wayang. Disebutkan bahwa UKB mengharamkan wayang dan mengimbau untuk memusnahkan wayang. Kehebohan ini semakin meningkat tensinya ketika banyak pihak yang berkomentar pedas terhadap isi ceramah tersebut, mulai dari tokoh agama hingga pejabat tinggi negara.

Jika dipilah, kasus ini dipicu dari dua masalah pokok yang memang sudah menjadi kultur bangsa kita khususnya warganet. Pertama, pernyataan UKB bersifat kontekstual (menjawab pertanyaan jamaah), bukan pernyataan fatwa seperti MUI. Artinya, pernyataan tersebut terikat ruang dan waktu. Ruangnya adalah majelis internal UKB, dan waktunya terjadi beberapa tahun silam. Tidak ditujukan ke masyarakat umum, dan bersifat individu (penanya) di masa lalu. Bisa dikatakan, ceramah itu sudah ‘basi’ dari sisi waktu. Sayangnya, sebagian publik menilai ceramah itu ditujukan untuk seluruh masyarakat Indonesia dan terjadi baru-baru ini.

Kedua, UKB dalam kapasitasnya sebagai ulama mencoba memberikan pandangan berdasarkan ilmu fikih yang dimiliki. Jika ada yang tidak setuju dengan fatwanya, harus diljawab juga dengan dalil-dalil yang sebaliknya. Ranah hukum harus dijawab dengan hukum juga. Namun, pada kenyataannya yang merespons UKB justru dengan tidak dalil yang setara. Sebut saja Gus Miftah yang melawan dengan pagelaran wayang dengan wajah mirip UKB, sesuatu yang kemudian menjadi bumerang karena dihujat warganet. 

Gus Miftah bukan satu-satunya tokoh yang offside. Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris lebih jauh lagi, ia melakukan narasi terorisme untuk mengkonter sebuah fatwa fikih. Pernyataannya dalam sebuah diskusi di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (18/2) tentang apa perlu wayang mengikuti mode atau cara berpakaian ustad tersebut. Misalnya, dengan memberi jenggot, jidatnya hitam hingga bercelana cingkrang supaya tidak diharamkan dan dibakar. 

Selain lari dari konteks, ucapan pejabat tinggi negara ini sangat berbahaya bagi keharmonisan bangsa. Sekelas pejabat negara menyerang pribadi, bukan substansi. Apalagi ditambah dengan pernyataan bahwa dengan kejadian tersebut, lembaganya menganggap semakin penting bagi masyarakat untuk mencegah terorisme. Seolah pendapat seorang ulama yang berlawanan dengan adat dianggap aksi terorisme. 

Jika kita telaah video kontroversial tersebut, tidak ditemukan satu pun diksi yang mengatakan bahwa wayang haram. Sepengamatan penulis, diksi yang digunakan UKB di video tersebut justru diksi-diksi yang netral seperti ‘tanpa mengurangi penghormatan terhadap budaya, tidak menjatuhkan, muslim dipandu oleh agama, tradisi orang dulu, harus ditinggalkan, wayang bisa tergantikan dengan manusia, generasi sekarang meninggalkan wayang’, dll.

Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) yang diwakili Koordinator Pepadi Wilayah Banyumas Raya mempermasalahkan kalimat UKB tentang ‘lebih baik dimusnahkan’. Jika dilihat dalam video, UKB mengeluarkan kata-kata tersebut jelas untuk dalang yang ingin bertaubat, sehingga sebaiknya dimusnahkan wayangnya. Konteksnya adalah indvidu dalang yang ingin bertaubat bukan untuk keseluruhan wayang.

 

Menjadikan suatu profesi sebagai narasi untuk menyerang pihak yang berseberangan bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Kasus Prabowo Subianto saat menjadi capres dan komunitas ojek adalah salah satunya. Prabowo saat itu mengatakan miris lulusan SMA menjadi pengemudi ojek dan berharap generasi muda Indonesia tidak harusnya menjadi tukang ojek. Buntutnya, Prabowo dituntut minta maaf. Lalu ada kasus Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Abdul Haris pada Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) 2018 yang mengatakan bahwa wajah-wajah mahasiswa baru adalah wajah-wajah presiden, bukan petani atau buruh. Hal ini diangap menghina profesi petani dan buruh. Kemudian ada Deddy Corbuzier yang dianggap menghina profesi pekerja sosial seperti penyapu jalanan saat mengomentari hukuman yang pantas bagi Rachel Vennya yang kabur dari Wisma Atlet saat karantina

Karakter masyarakat 

Sejumlah kasus tersebut sebenarnya tidak akan viral kalau masyarakat memiliki tiga karakter minimal dalam mengonsumsi media. Pertama, kritis terhadap informasi. Tidak mudah digiring opininya hanya oleh judul berita tanpa membaca isinya, atau video yang sepotong-sepotong. Kedua, cerdas berliterasi digital. Kemampuan menelaah, menyaring, mengonfirmasi, memutuskan, serta mengevaluasi yang berhubungan dengan platform media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter, dan media lain. 

Ketiga, dan ini yang terpenting, kepiawaian dalam membaca apa yang tidak tersirat. Publik harus cerdas dalam merespons fenomena-fenomena itu, karena berbagai kasus yang dianggap penghinaan sebenarnya bukanlah kasus hukum, tapi lebih kepada kasus pengarahan opini publik. Tidak perlu diramaikan, karena terkadang kegaduhan seperti ini seperti sengaja diciptakan untuk mengalihkan terhadap isu-isu yang lebih substansial. Peristiwa ini bisa menjadi cara bagi sekelompok orang untuk riding the wave, memanfaatkan isu yang sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat luas sebagai strategi pemasaran bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. 

Menurut Pierre Levy, penulis buku Cyberculture, saat ini kita bukan sedang berada di era komunikasi massa, melainkan sedang menuju era komunikasi bermedia. Media bukan hanya sebuah instrumen informasi atau cara untuk mencapai ketertarikan diri, tetapi menyatukan kita dalam beberapa bentuk masyarakat dan memberi kita rasa saling memiliki. Masyarakat kita telah terpolarisasi secara tajam dalam beberapa tahun belakangan, dan media massa maupun media sosial punya peran penting untuk mempertajam, atau meleburkannya kembali. Kasus UBK, misalnya, jika dilihat justru semakin memperlebar jurang polarisasi tersebut.

Kalau kasus ini terus digoreng, dipertahankan terus momentumnya sampai beberapa waktu ke depan, publik akan bertanya, siapa sebenarnya dalang di balik kasus wayang?


Sumber: Media Indonesia | Mencari Dalang di Balik Kasus Wayang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *