KANTOR Staf Presiden (KSP) membantah pernyataan sejumlah pihak yang menyebut pemerintah memagari kebebasan berekspresi dengan melakukan pembatasan terkait pendaftaran dan pendanaan organisasi nonpemerintah (Non-governmental organization/NGO).
Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan bahwa sudah ada payung hukum yang mengatur segala ruang lingkup terkait organisasi kemasyarakatan (ormas) mulai dari aspek pendaftaran, pendanaan, hingga operasional di lapangan.
Baca juga: Menginspirasi Pemuda Bali, Ajus Linggih Calonkan Diri Sebagai Ketum AMPI
“Itu semua sudah diatur di dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 juncto Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya,” ujar Jaleswari kepada wartawan, Minggu (20/2).
Ia menegaskan bahwa, di peraturan perundangan, ada rambu-rambu yang mengatur secara jelas apa saja yang dilarang untuk dilakukan oleh ormas. Sebagai contoh, ormas dilarang menganut ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, hingga terlibat dalam kegiatan yang dapat mendukung tindak pidana terorisme.
“Bila kemudian terdapat mekanisme prosedural yang diterapkan pemerintah, hal tersebut semata-mata dilakukan untuk menjamin ormas di Indonesia berjalan dalam kerangka rambu-rambu yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan terkait,” sambungnya.
Jaleswari juga menyangkal tuduhan yang menyebut pemerintah menutup ruang gerak NGO asing terutama dalam memberi dana kepada pihak sipil.
“Hal tersebut jelas salah karena salah satu sumber pendanaan masyarakat sipil dapat berasal dari bantuan atau sumbangan dari lembaga asing,” ungkap mantan peneliti LIPI itu.
Akan tetapi, ia menambahkan, dalam proses pemberian bantuan ada prosedur yang harus dilewati. Hal tersebut dilakukan guna menjamin bahwa bantuan yang disalurkan tidak ditujukan untuk mendukung kegiatan ormas yang bertentangan dengan ketetapan yang diatur dalam peraturan perundangan.
Semua aturan itu, tegas Jaleswari, tidak perlu dinarasikan sebagai serangan terhadap kebebasan berpendapat terutama pada masa pemerintahan Joko Widodo.
“Perlu diingat bahwa pengaturan mengenai hak berserikat juga dimungkinkan dan diberikan ruangnya oleh konstitusi kita. Hal ini untuk menjamin iklim kebebasan berserikat di Indonesia
tetap sejalan dengan maksud pembatasan yang diperbolehkan dalam konstitusi, di antaranya untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Rasio konstitusional terkait pengaturan mengenai kebebasan berserikat tersebut pun merupakan praktik yang lumrah bila dikomparasikan dengan praktik di negara-negara demokrasi lainnya,” tandasnya. (OL-6)