Jakarta, CNN Indonesia —
Rencana pemetaan masjid-masjid berbasis radikalisme dinilai memungkinkan selama dilakukan secara terukur alias tidak ‘ngasal’. Jika tidak, konflik antar-masyarakat mudah tersulut.
Sebelumnya, Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri Brigjen Umar Effendi berencana untuk memetakan masjid-masjid di Indonesia untuk mencegah penyebaran paham terorisme.
Bentuknya, memberikan warna dan kategori pada sejumlah masjid. Tanpa merinci kategori dan lokasi masjidnya, Umar mengatakan ada masjid yang cenderung ‘keras’.
Pada 2018, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla mengaku mengantongi daftar masjid yang dipakai untuk menyebarkan radikalisme kepada Badan Intelijen Negara (BIN).
Ia juga meminta pengurus masjid mewaspadai kelompok jemaah yang membuat kajian berisi radikalisme dengan ciri berbisik-bisik.
“Hati-hati kalau ada di masjid kelompok-kelompok terdiri dari 4-5 orang dan kemudian ada gurunya, kajian sambil berbisik-bisik. Pengurus masjid harus tegur itu, jangan sampai mereka sedang kajian radikalisme,” tutur politikus yang akrab dipanggil JK itu, Rabu (31/3/2021).
Berangkat dari polemik tersebut, CNNIndonesia.com lantas mencoba meminta tanggapan sejumlah warga terkait wacana pemetaan masjid-masjid dari kepolisian tersebut.
Ahfandil (31), pengemudi ojek daring, meminta pemetaan masjid secara hati-hati. (Foto: CNN Indonesia/Taufiq)
|
Ahfandil (31), pengemudi ojek daring, mengaku tidak mempersoalkan rencana pemetaan masjid guna mencegah penyebaran paham radikalisme dan terorisme.
“Enggak masalah kalau emang tujuannya buat keamanan kita semua, selama tidak mengganggu aktivitas masyarakat untuk beribadah,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, di salah satu Masjid kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, Kamis (27/1).
Meski demikian, Fandi mewanti-wanti agar pemetaan itu dilakukan secara terukur dan memiliki standar yang jelas serta tidak terkesan subjektif di mata masyarakat. Jika dilakukan secara serampangan, dia risau niat baik itu dapat menimbulkan permasalahan baru.
“Harus teliti, tidak boleh asal. Karena kalau salah netapin warnanya kan dampaknya bisa fatal juga kepada Masjid dan masyarakat setempat,” jelasnya.
Toto (58), warga Kompleks Kehakiman Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur, menilai pemetaan penyebaran paham radikal itu mestinya dilakukan secara adil dengan menyasar tempat ibadah agama lain.
“Makanya saya tidak setuju. Itu pertanyaan utamanya, kenapa seakan-akan dikhususkan kepada Masjid saja pemetaan itu?” cetus dia, ketika ditemui di Masjid Jami At-Taqwa.
Toto (58), warga Utan Kayu, Jakarta Timur, meminta pemetaan yang sama terhadap tempat ibadah agama lain. (Foto: CNN Indonesia/Taufiq)
|
Ia juga menilai kecurigaan Polri tersebut tidaklah berdasar. Jika memang ada penyebaran radikalisme di masjid, Toto mengatakan itu akan mudah terungkap berkat ada media sosial.
Dia menyarankan kepolisian langsung melakukan penindakan terhadap pelaku penyebaran radikalisme tersebut dan tak cuma melakukan pemetaan.
“Ibaratnya kan sekarang apa-apa gampang viralnya. Kalau benar ada yang aneh-aneh di masjid, logikanya cepat terdeteksi dong di masyarakat juga,” tuturnya.
Justru, katanya, kebanyakan masjid di tengah permukiman kerap melakukan kerja-kerja kemanusiaan, kontras dengan dugaan polisi bahwa masjid sebagai tempat regenerasi teroris.
Bersambung ke halaman berikutnya..
Penyebaran Radikalisme Dianggap Lebih Mungkin di Medsos
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
Sumber: CNN Indonesia | Pemetaan Masjid Diterima dengan Syarat Ketat, Berpotensi Picu Konflik