Pejabat senior PBB, pada Rabu (17/11), memperingatkan bahwa krisis ekonomi yang dalam di Afghanistan mengancam peningkatan risiko ekstremisme di kawasan itu.
Negara yang dilanda perang itu berada di ambang bencana kemanusiaan ketika aset asing dan bantuan moneter tetap dibekukan setelah Taliban kembali berkuasa pada Agustus.
Utusan PBB untuk Afghanistan Deborah Lyons mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa dengan ekonomi lokal compang-camping, obat-obatan terlarang, aliran senjata dan perdagangan manusia kemungkinan akan meningkat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memperingatkan bahwa sekitar 22 juta warga Afghanistan, atau sekitar setengah dari negara itu, akan menghadapi kekurangan pangan musim dingin ini. “Realitas situasi saat ini mengancam untuk meningkatkan risiko ekstremisme,” kata Lyons.
Kelumpuhan yang sedang berlangsung dari sektor perbankan, katanya memperingatkan, akan mendorong lebih banyak sistem keuangan ke dalam pertukaran uang informal yang tidak diatur yang hanya dapat membantu memfasilitasi terorisme, perdagangan dan penyelundupan narkoba lebih lanjut. “Patologi ini pertama-tama akan mempengaruhi Afghanistan tetapi kemudian itu akan menginfeksi wilayah tersebut,” tambahnya.
Pernyataan Lyons tersebut disampaikan segera setelah Taliban mengeluarkan pernyataan yang mendesak anggota parlemen AS untuk melepaskan aset negara yang dibekukan.
Dalam sebuah surat terbuka, Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi mengatakan tantangan terbesar yang dihadapi Afghanistan adalah ketidakamanan finansial dan akar dari kekhawatiran itu mengarah kembali ke pembekuan aset rakyat oleh pemerintah Amerika.
Washington telah menyita hampir $9,5 miliar aset milik bank sentral Afghanistan, dan ekonomi yang bergantung pada bantuan itu telah runtuh secara efektif.
Lyons juga menyesalkan bahwa Taliban tidak mampu membendung penyebaran ISIS di Afghanistan. (AFP/OL-12)