• December 3, 2024 4:00 pm

Apa yang Salah dengan Remisi?

ByRedaksi PAKAR

Nov 16, 2021

MAHKAMAH Agung (MA) telah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP pengetatan remisi koruptor ini dianggap bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, yaitu UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Pencabutan itu tertuang dalam putusan MA No 28 P/HUM/2021 tanggal 28 Oktober 2021 yang mengabulkan judicial review atas empat pasal dalam PP No 99/2012, yaitu Pasal 34 A ayat (1) huruf (a), Pasal 34A ayat (3), Pasal 43 A ayat (1) huruf (a) dan Pasal 43A ayat (3).

Pemohonnya ialah lima warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin Kelas IA, Bandung. Mereka meminta MA menghapus syarat menjadi justice collaborator bagi terpidana kasus korupsi, terorisme dan narkotika, demi bisa mendapatkan remisi.

Berdasarkan PP 99/2012, syarat pemberian remisi terkait tindak pidana korupsi, narkotika, dan terorisme, dilakukan antara lain jika narapidana bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

MA mengabulkan permohonan tersebut. Pertimbangannya ialah fungsi pemidanaan tak lagi sekadar memenjarakan pelaku dengan tujuan memberikan efek jera, tetapi juga usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial, yang sejalan dengan model restorative justice. MA juga berpendapat, persyaratan mendapatkan remisi tidak boleh dibeda-bedakan dan diberikan tanpa terkecuali bagi semua warga binaan.

Putusan MA ini menjadi kontroversi di masyarakat. Sebagian publik menganggapnya sebagai kado buat para koruptor. Mereka menjadi lebih mudah mendapatkan remisi. Bahkan, penghapusan pengetatan remisi ini dianggap sebagai agenda pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Benarkah demikian?

 

 

Filosofi pemasyarakatan

Pertama kita harus melihat filosofi pemasyarakatan. Pada Pasal 1 ayat 1 UU No 12/1995 disebutkan pemasyarakatan ialah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan, yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Dalam penjelasan umum disebutkan, sistem pemasyarakatan ini merupakan perubahan dari sistem pemenjaraan. Sistem pemenjaraan menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sedang sistem pemasyarakatan tidak lagi sekadar penjeraan, tetapi merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial agar warga binaan bisa kembali ke masyarakat.

Konsep pemasyarakatan di Indonesia diperkenalkan Sahardjo pada tahun 1963, yang menyatakan tujuan dari pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, tetapi juga ditujukan untuk membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna (Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, 1988).

Konsep pemasyarakatan ini telah disempurnakan dalam RUU tentang Perubahan atas UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan yang pada DPR Periode 2014-2019 telah selesai dibahas, tetapi belum jadi disahkan. RUU tersebut akan kembali dibahas pada DPR periode ini dan sudah masuk ke Prolegnas Prioritas Tahun 2021.

Kedua, kita harus melihat tujuan dari pemidanaan. Pada dasarnya, pemidanaan merupakan akhir atau puncak dari sistem peradilan pidana, yaitu dengan dijatuhkannya putusan hakim. Apa jenis dan lama hukumannya, itu wilayah hakim. Adapun, pelaksanaan hukumannya yang berupa penjara atau kurungan itu wilayah lembaga pemasarakatan.

Pada umumnya, teori pemidanaan itu dibagi dalam tiga kelompok (E Utrecht, Hukum Pidana I, 1958), yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau tujuan (doel theorien), dan teori gabungan atau teori modern (vereningings theorien). Teori absolut menyebutkan hakikat pidana ialah pembalasan karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana.

Menurut teori tujuan, pidana ialah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat, sedangkan teori gabungan menyatakan tujuan pemidanaan bersifat plural, menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan.

Indonesia menganut teori gabungan. Untuk teori pembalasan dapat dilihat dari diaturnya hukuman mati dalam Pasal 10 KUHP dan UU No 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, sedangkan teori tujuan dapat dilihat dari jenis-jenis pemidanaan dalam KUHP, yaitu pidana penjara dan kurungan, serta dianutnya sistem pemasyarakatan dalam UU No 12 Tahun 1995.

 

 

Komoditas

Ketentuan tentang remisi diatur dalam Pasal 14 ayat 1 UU No 12/1995, yaitu tentang hak-hak narapidana. Salah satunya ialah pengurangan masa pidana atau remisi. Kemudian di ayat 2 diatur ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan PP.

Pemerintah, kemudian menerbitkan PP No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Dalam Pasal 34 ayat 1 PP ini diatur bahwa setiap Narapidana dan Anak Pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi.

PP ini sudah dua kali diubah, yang terakhir ialah dengan PP No 99/2012. PP ini memberikan syarat tambahan untuk mendapatkan remisi bagi terpidana perkara pidana khusus (korupsi, narkotika, terorisme). Syarat dimaksud, antara lain, menjadi justice collaborator atau bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

Penerbitan PP ini, saat itu oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, disambut antusias banyak kalangan. PP pengetatan remisi untuk koruptor ini diapresiasi sebagai ketentuan yang mendukung pemberantasan korupsi.

Menurut hemat penulis, sambutan meriah untuk PP ini sebenarnya kurang tepat. Alasannya, pertama, pengaturan dalam PP ini melebihi apa yang diatur dalam UU. Kedua, narapidana atau warga binaan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan remisi dan tidak boleh didiskrimasi berdasarkan jenis pidananya. Remisi merupakan hak seluruh narapidana sebagai penghargaan atas sikap mereka dalam LP.

Ketiga, dan yang terpenting, tugas LP ialah melakukan pembinaan, bukan memberikan sanksi tambahan. Jika hukuman untuk terpidana korupsi atau narkotika dianggap terlalu ringan, itu bukan wilayah lembaga pemasyarakatan untuk memperberatnya. Itu wilayah pengadilan yang perlu didorong agar menjatuhkan hukuman lebih berat untuk kasus korupsi dan narkotika.

Kemudian, terkait remisi, yang perlu diawasi ialah agar pemberiannya berdasarkan parameter yang jelas dan objektif. Remisi tidak boleh menjadi komoditas. Misalnya, remisi menjadi tukar-menukar keuntungan antara napi dengan lapas. Ketika napi memberikan sesuatu kepada LP, misalnya membangun ruangan aula, yang bersangkutan dianggap berjasa dan berhak mendapat remisi atau lebih buruk lagi remisi diperjual-belikan: sekian minggu sekian rupiah, sekian bulan sekian rupiah.

Remisi harus menjadi alat reward and punishment bagi warga binaan. Warga binaan yang berkelakuan baik diberikan remisi, yang kelakuannya buruk tidak diberikan. Pemberian remisi, juga perlu diketatkan, lebih selektif, baik lamanya remisi maupun momen pemberiannya. Saat ini banyak sekali jenis remisi, seperti remisi Kemerdekaan RI, hari-hari besar agama seperti Idul Fitri dan Natal, hari pemasyarakatan dll.

Pemberian remisi ini, juga hak-hak lainnya, harus diperlakukan sama untuk semua warga binaan. Tidak boleh ada yang diperlakukan khusus, baik dalam arti dipersulit atau diperketat atau sebaliknya dipermudah. Pemberian remisi oleh Menteri Hukum dan HAM harus dilakukan dalam rangka pembinaan narapidana.


Sumber: Media Indonesia | Apa yang Salah dengan Remisi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *