• May 6, 2024 6:19 am

Melawan Ekstremisme dan Sumpah Pemuda 4.0

AKSI perempuan muda di depan Istana Presiden, Selasa (25/10) memperlihatkan bahwa ekstremisme masih memiliki daya pikat bagi generasi muda. Penelitian Center Detention Studies memperlihatkan bahwa sebagian besar pelaku terorisme berusia 18-36 tahun. 

Fenomena generasi muda terlibat ekstremisme bukanlah hal baru. Warga negara Indonesia (WNI) terlibat pelatihan militer Afganistan, terlibat bom Bali, kelompok ekstrem di Filipina, dan hijrah ke Suriah saat Islamic State (IS) masih berjaya, sebagian besar berusia muda. Begitu juga dengan keterlibatan generasi muda di konflik Ambon dan Poso. 

Pencarian jatidiri dan masalah keluarga merupakan pertanyaan yang sering diajukan untuk mencari jawaban; mengapa generasi muda menjadi target rekrutmen dalam jaringan teror. Apabila kita menggunakan pendekatan Erikson (1993) tentang pembagian perkembangan psikososial manusia dalam delapan tahapan, ada dua tahapan krusial, yakni tahapan remaja dan dewasa. Pada tahapan ini menurut Erikson, manusia akan melakukan pencarian jati diri dan adanya masalah keterasingan. 

Merunut Erikson dan dikaitkan dengan keterlibatan generasi muda, terdapat kasus terorisme misalnya, pelaku melakukan aksi ekstrem karena kekeliruan dalam pencarian jati diri personal dan pelaku merasa terasing dari masyarakat. Akibatnya, sering ditemukan individu yang merasa paling benar, penyebabnya adalah pencarian jati diri keagamaan yang tidak senafas dengan norma dan budaya masyarakat. 

Keterlibatan generasi muda terjadi karena adanya pola hubungan keluarga yang kurang begitu harmonis, pola asuh yang bermasalah hingga memiliki relasi keluarga yang secara geneologis berada dalam lingkaran organisasi ekstrem. 

Fenomena di Indonesia memiliki kemiripan dengan Nigeria, yang mana keterlibatan generasi muda dalam kelompok ekstrem Boko Haram terjadi karena terdapat masalah antara lain; pola asuh keluarga yang tidak begitu baik; penolakan terhadap model pengajaran pendidikan agama yang moderat: literasi pengetahuan keagamaan yang tidak mumpuni (USIP, 2014). 

Pada bagian lain, Micheal Kimmel (2018) menjelaskan generasi muda terlibat kelompok ekstrem di Jerman, Inggris, Swedia, dan Amerika. Mereka yang terlibat dengan beragam ideologi ekstrem tersebut, salah satu yang berhasil diidentifikasi adalah karena isu boy crisis.

Adaptasi digital

Saat ini, selain bisnis, salah satu yang paling adaptif dengan perkembangan revolusi 4.0 adalah kelompok ekstrem. IS misalnya mampu menciptakan konten yang begitu memikat dalam berbagai versi bahasa. Diselubungi pemilihan diksi dan penggunaan ayat suci menghasilkan sejumlah penduduk dari 100 negara di dunia ikut bergabung dengan mereka di Suriah. 

Kelompok ekstrem adaptif dalam kontestasi media sosial (medsos), dengan pendekatan tarung digital (Sudibyo, 2021). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah Trool Independent, suatu pendekatan yang sengaja memancing respons emosional di jagat maya. Dalam kasus kelompok ekstrem misalnya, ada berbagai upaya propaganda untuk merekrut dan mendanai, dan ternyata berhasil. 

Kemampuan tarung digital kelompok ekstrem juga diimbangi dengan kemampuan adaptif terhadap lingkungan sosial. Kemampuan adaptif memang telah dilakukan sejak lama, misalnya kemampuan beralih jaringan dan organisasi dapat dilihat dari kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang bermetamorfosa dalam berbagai jenis organisasi, Al Jamaah Al Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Jamaah Anshor Tauhid, Jamaah Anshor Syariah, Jamaah Anshor Khilafah, Jamaah Anshor Daulah, dan Mujahidin Indonesia Timur. 

Kemampuan adaptif tentunya memerlukan sumber daya manusia yang unggul dan mensyaratkan keterlibatan generasi muda untuk menggerakan energi ekstrim. Tanpa itu kelompok ekstrem dipastikan berada dalam posisi lemah. Hari ini tantangan pencegahan ekstremisme berada pada pengunaan media digital yang berujung pada aksi kekerasan. Kombinasi media sosial, ideologi ekstrimisme, dan generasi muda melahirkan pelaku srigala sunyi (lone wolf). 

Imbas tarung digital yang begitu masif, dalam beberapa kasus aksi terorisme dengan metode lone wolf mengkonfirmasi adanya keterkaitan pemberi pesan ekstremisme di jagat maya dapat dengan mudah ditangkap oleh penerima pesan, yang memiliki kerentanan terpapar ideologi ekstrem. 

Setidaknya terdapat 10 kasus tindak pidana terorisme dengan metode lone wolf di Indonesia, pelaku berada pada usia 20-30an tahun (Avina, 2022). Setidaknya terorisme dengan metode ini, berbeda dengan aksi terorisme dengan berkelompok. Pergerakan individual yang merencanakan, mempersiapkan hingga menyerang, sulit sekali dideteksi, intercept dapat dilakukan, dengan syarat adanya kemampuan siber komprehensif, sehingga aksi dapat dicegah. 

Spirit kebangsaan 4.0 

Hampir satu abad Sumpah Pemuda, tepatnya 94 tahun sejak 1928. Pada saat lahir sumpah pemuda, ada spirit generasi muda kala itu untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Spirit bertanah air, berbangsa satu, berbahasa satu, nampaknya hari ini menghadapi berbagai tantangan ekstremisme. 

Jika kelompok ekstrem menarget generasi muda, sebaliknya spirit Sumpah Pemuda harus mampu memikat kecintaan atas bangsa dan tanah air. Jika tidak, kontestasi dalam ruang-ruang nyata dan maya hanya akan dihegemoni oleh kelompok yang akan merapuhkan sendi-sendi kebangsaan. Lalu dari manakah kita memulainya, mulailah dari keluarga yang basis penting menanamkan nilai-nilai kebangsaan.

Apakah cukup dengan memikat kecintaan terhadap bangsa, kelompok ekstrem dapat melemah di Republik ini. Tentu tidak, generasi muda juga perlu diajak secara aktif kampanye kebangsaan berbasis 4.0, perlu ada kemasan digital yang disajikan dengan visi internalisasi pesan kebangsaan, sehingga pada akhirnya tidak terjadi kesenjangan penghayatan kebangsaan antar generasi. 


Sumber: Media Indonesia | Melawan Ekstremisme dan Sumpah Pemuda 4.0

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *