• May 3, 2024 3:51 am

Risalah Islam Berkemajuan: Ijtihad Fikih Peradaban Muhammadiyah

SALAH satu agenda penting Muktamar ke-48 Muhammadiyah yang akan digelar pada 18-20 November 2022 di Surakarta ialah pembahasan draf materi Risalah Islam Berkemajuan (RIB). Konsep tersebut akan dibahas dalam Sidang Pendahuluan pada 5 November 2022 secara daring.

Konsep Risalah Islam Berkemajuan itu semacam penegasan ‘pandangan keislaman’ Muhammadiyah yang tertuang dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (Zhawahir al-Afkar al-Muhammadiyyah li al-Qarni al-Tsani) hasil Muktamar ke-46 Muhammadiyah 3-8 Juli 2010, bahwa Islam ialah agama berkemajuan (din al-hadlarah), yang membawa rahmat bagi semesta kehidupan.

Di saat dunia mengalami krisis peradaban, konsep Risalah Islam Berkemajuan itu dapat menjadi semacam fikih peradaban ala Muhammadiyah. Hal itu penting mengingat visi peradaban Islam kontemporer cenderung mengarah pada gerakan reformasi keagamaan dalam kekuasaan. Imajinasi tentang kemajuan cenderung bernuansa politik sebagaimana jargon al-din wa al-daulah (agama dan negara/politik) yang diserukan para islamis.

Selama abad ke-20, para pemimpin islamis, seperti Hasan Al-Banna (pendiri ikhwanul muslimin di Mesir) menolak gagasan negara sekuler, lalu mempromosikan penyatuan agama dan negara. Al-Banna (1906-1943) memopulerkan Islam merupakan agama sekaligus negara, al-Islam din wa daulah, sedangkan Mahmud Syaltut dengan konsep aqidah wa syariah (akidah dan syariat). Kedua model pemahaman menjadikan nuansa Islam cenderung menjadi agama yang ideologis, politis, dan formatistik, bukan sebagai agama peradaban.

Padahal, jika ditelusuri, doktrin din wa daulah tidak ada dalam sumber autentik Islam, yakni Al-Qur’an ataupun hadis. Dalam buku Political Thought in Medieval Islam, Erwin Rosenthal salah mengaitkan satu perkataan kepada Nabi Muhammad, “Agama dan kekuasaan adalah sudara kembar”. Buku Al-Iqtisad Fi Al-I’tiqad (Tak Berlebihan dalam Berkeyakinan), yang dikutip Rosenthal, Al-Ghazali memang menjelaskan agama dan sultan sebagai saudara kembar, tetapi Al-Ghazali tidak merujuk hadis.

Dalam buku Ahmet T Kuru, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan, kalimat ‘agama dan otoritas kerajaan adalah saudara kembar’ hanyalah pepatah terkenal yang asal-usulnya bukan dari hadis, melainkan ‘Persia Sasaniyah’. Ceritanya, satu setengah abad sebelum Al-Ghazali, ahli sejarah Mas’udi mengutip terjemahan bahasa Arab suatu tulisan Sasaniyah dalam bukunya.

Dalam narasi Mas’udi, pendiri Kerajaan Sasaniyah, Ardasyir I memberikan nasihat dalam wasiatnya, “Agama dan kekuasaan kerajaan adalah saudara kembar, yang tidak bisa ada tanpa satu sama lain. Karena agama merupakan dasar kekuasaan kerajaan dan kerajaan merupakan penjaga agama. Setiap bangunan yang tidak memiliki dasar, akan runtuh, dan setiap bangunan yang tidak dijaga, akan hancur” (Kuru, 15).

Sebelum Mas’udi, wasiat Ardasyir telah diterjemahkan dari bahasa Persia Tengah ke bahasa Arab beberapa kali, yang pertama pada abad ke-8. Singkatnya, asal-usul gagasan persaudaraan agama dan negara di dunia muslim ialah teks Sasaniyah, bukan dari Islam dan tidak ada landasan teks Al-Qur’an ataupun hadis. Menariknya, tesis utama Kuru, bersatunya ulama dan negara menjadi penyebab kemunduran negara-negara muslim.

Cita-cita peradaban Islam berorientasi pada perjuangan kekuasaan (din wa daulah) berakibat pada populernya kata politik, seperti jihad, khilafah, takfiriyyah, thoghut dalam jagat pemikiran Islam belakangan ini. Hal tersebut telah mengantarkan visi peradaban Islam ke arah cita-cita kenegaraan yang bercorak utopis dan nostalgik, seperti al-daulah al-islamiyyah dan al-khilafah al-islamiyyah. Sebuah imajinasi peradaban yang tidak mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan perkembangan sains yang objektif.

Karena kecenderungan normatif, Islam belum menjadi jawaban atas masalah-masalah kemanusiaan modern dan krisis peradaban saat ini. Masalah-masalah krusial tersebut antara lain krisis pangan dan energi, krisis ekonomi, krisis lingkungan dan perubahan iklim, migrasi global. Lalu, yang berkaitan dengan relasi antarperadaban hingga terorisme internasional dan islamofobia.

MI/Seno

 

Definisi Islam Berkemajuan: Din wa ni’mah

Dalam Risalah Islam Berkemajuan, dijelaskan karakteristik dan manhaj Islam Berkemajuan. Namun, belum ada penjelasan tentang definisi Islam, lebih-lebih definisi Islam Berkemajuan. Padahal, Muktamar ke-48 itu dapat menjadi momentum penegasan definisi Islam Berkemajuan itu bahwa Islam ialah agama peradaban.

Salah satu ciri khas Muhammadiyah ialah ideologi puritanisme. Dalam membuat istilah, definisi, dan konsep selalu merujuk dan terikat pada sumber autentik Islam, yakni Al-Qur’an dan hadis. Dalam Tanfidz Seabad Muhammadiyah (2010), dijelaskan tiga karakter Islam Berkemajuan, yakni membebaskan, memberdayakan, dan memajukan. Tiga karakter ini manifestasi dari nilai-nilai transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi yang digali dari QS Ali Imran ayat 104 dan 110.

Mengenai definisi Islam Berkemajuan, ada rujukan ayat yang lebih tepat untuk menggambarkan Islam sebagai agama kemajuan (din al-hadlarah). Definisi Islam dalam buku Fikih Akbar: Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil ‘Alamin karya Hamim Ilyas (Ulama Tarjih Muhammadiyah) penting menjadi rujukan. Berbeda dengan para pemikir islamis, Hamim mengembangkan definisi Islam sebagai agama peradaban.

Berdasarkan QS Al-Maidah ayat 3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu”, Hamim mengajukan definisi Islam ialah din wa ni’mah. 

Pernyataan din wa ni’mah diawali dengan penegasan, Allah telah menyempurnakan agama (din) dan menggenapkan anugerah (ni’mah), bahwa penyempurnaan agama menjadi pengertian penyempurnaan nikmat. Din dimaknai sebagai sistem kepercayaan dan peribadatan, yaitu Rukun Iman dan Rukun Islam yang menjadi dasar spiritualitas dan moral untuk mewujudkan peradaban.

Ni’mah secara bahasa dimaknai sebagai al-halah al-hasanah (keadaan yang baik), sedangkan untuk mewujudkan kehidupan yang baik dibutuhkan sebuah peradaban. Ni’mah sebagai al-halah al-hasanah dapat diyakini bahwa makna penyempurnaan anugerah dalam Al-Maidah ayat 3 ialah pemberian kemenangan kepada kaum muslimin di zaman Nabi. Kemenangan yang mereka peroleh, pasti berpangkal pada keunggulan yang mereka miliki. Dengan keunggulan itu, mereka menjadi pribadi dan masyarakat yang berkualitas tinggi.

Dengan demikian, pengertian penyempurnaan anugerah (ni’mah) menjadi penyempurnaan unsur-unsur tinggi dari kebudayaan bagi mereka. Unsur-unsur kebudayaan tinggi dalam antropologi disebut peradaban. Karena itu, maksud ni’mah dalam Al-Maidah ayat 3 ialah peradaban. Pengertian din wa ni’mah sebagai definisi Islam ialah agama dan peradaban.

Dengan demikian, din wa ni’mah dapat diperoleh makna Islam itu agama dan peradaban, bukan politik, kekuasaan, atau negara. Definisi itu selaras dengan Islam Berkemajuan yang memiliki dasar normatif yang jelas, yakni Al-Qur’an Al-Maidah ayat 3. Dalam bahasa Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang dikutip Alexander R Arifianto (RSIS, 2017), Islam Berkemajuan ialah Islam with progress, Islam dengan peradaban yang membawa kemajuan.

Dalam buku Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2014: 10-12), berkemajuan mengandung arti proses dan sekaligus tujuan yang bersifat ideal untuk mencapai kondisi unggul, berada di garis depan atau memimpin di semua bidang kehidupan material dan spiritual, jasmani dan rohani, lahir dan batin. Berkemajuan, menyiratkan adanya keberlangsungan, dan bahkan progres, sebagai perwujudan dari usaha yang terus-menerus untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang bermakna (sustainable development with meaning). Berkemajuan dalam bidang politik, ekonomi, sekaligus budaya.

 

Fikih peradaban

Kata Islam Berkemajuan mengandung arti Islam yang dapat menjadi maju, ingin menjadi maju, sekaligus berbuat, bergerak atau bekerja menjadi maju. Islam yang maju atau berkemajuan karena sifat idealnya merupakan proses yang tiada akhir. Tujuan atau cita-cita tersebut harus terus dilakukan, dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai akhir zaman. Karenanya, kata berkemajuan mengandung makna proses sekaligus tujuan.

Dengan demikian, Risalah Islam Berkemajuan dapat menjadi fikih peradaban yang alternatif pemikiran terhadap aneka krisis peradaban dunia saat ini. Risalah yang berisi pikiran-pikiran baru yang solutif untuk masa depan umat manusia. Risalah Islam Berkemajuan juga merupakan penegasan sebagai gerakan pencerahan Muhammadiyah, yakni gerakan dakwah, gerakan tajdid, gerakan ilmu, dan gerakan amal.

Muhammadiyah perlu ambil bagian sebagai penyelesai masalah (problem solver) dengan langkah-langkah yang proaktif dan strategis (al-jihad li-al-Muwajahah). Semua itu merupakan wujud dari pengkhidmatan Muhammadiyah untuk peradaban, mulai pengkhidmatan keumatan, kebangsaan, kemanusiaan, hingga pengkhidmatan global.

Dalam isu keumatan, Muhammadiyah perlu proaktif menghadapi (1) fenomena regimentasi paham agama, (2) membangun kesalehan digital, (3) memperkuat persatuan umat. Lalu, (4) reformasi tata kelola filantropi Islam, (5) beragama yang mencerahkan, serta (6) autentisitas wasatiah Islam.

Dalam isu kebangsaan, Muhammadiyah perlu proaktif menghadapi (1) ketahanan keluarga, (2) reformasi sistem pemilu, (3) suksesi kepemimpinan 2024, (4) evaluasi deradikalisasi, (5) memperkuat keadilan hukum, (6) memperkuat regulasi sistem resiliensi bencana, serta (7) antisipasi aging population.

Dalam isu kemanusiaan universal, Muhammadiyah perlu berperan dalam (1) membangun tata dunia yang damai berkeadilan, (2) regulasi dampak perubahan iklim, (3) mengatasi kesenjangan antarnegara, dan (4) menguatnya xenophobia.

Semua kerja peradaban Muhammadiyah merupakan manifestasi dari Islam sebagai agama dan peradaban (din wa ni’mah). Islam yang kehadirannya menjadi rahmatan (rahmah) lil ‘alamin untuk mewujudkan kehidupan yang baik (al-halah al-hasanah) di dunia dan akhirat. Rahmah ialah riiqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, perasaan lembut (cinta) yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi.

Menurut Hamim Ilyas, kebaikan nyata dalam pengertian yang paling luas ialah hidup baik yang dalam QS An-Nahl (16: 97) disebut hayah thayyibah. Indikator hidup baik yang disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an ialah lahum ajruhum ‘inda rabbihim (sejahtera sesejahtera-sejahteranya), wa la khaufun ‘alaihim (damai sedamai-damainya), dan wa la hum yahzanun (bahagia sebahagia-bahagianya) di dunia dan di akhirat.

Di sinilah pentingnya kehadiran konsep Risalah Islam Berkemajuan sebagai fikih peradaban. Fikih yang menjadi panduan segenap warga, anggota, pimpinan, dan simpatisan Muhammadiyah untuk menjadi alternatif pemikiran Islam yang mendorong pengikutnya berpikiran dan berperilaku dengan peradaban tinggi. Fikih yang mendorong umat muslim untuk menjadi umat yang berperadaban tinggi dan maju.

Risalah Islam Berkemajuan dapat menjadi penegasan bahwa Islam ialah agama yang unggul dan tidak diungguli (al-Islam ya’lu wa la yu’la ‘alaih). Sebuah risalah yang mendorong umat muslim menjadi umat yang unggul dalam mewujudkan hidup sejahtera, damai, dan bahagia di dunia dan akhirat. Risalah yang menjadikan umatnya percaya diri bahwa Islam ialah din wa ni’mah, bukan din wa daulah.


Sumber: Media Indonesia | Risalah Islam Berkemajuan: Ijtihad Fikih Peradaban Muhammadiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *