• April 18, 2024 10:34 am

Refleksi 20 Tahun Tragedi Bom Bali I 

ByRedaksi PAKAR

Oct 12, 2022 ,

BOM Bali I (12 Oktober 2002) tidak terasa telah berlalu sekitar 20 tahun. Aksi yang dilakukan oleh Al Jamaah Al Islamiyah meninggalkan luka mendalam bagi korban dan keluarga korban, yang sebagian besar berkewarganegaraan Australia. Ada banyak hal pascaperistiwa tersebut, yaitu Indonesia belajar bagaimana penanganan tindak pidana terorisme secara lebih komprehensif, kendati belum sempurna. 

Penulis ikut serta dalam peringatan 20 tahun Bom Bali I di Denpasar, Bali yang dilaksanakan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri. Peringatan yang memberikan harapan bukan hanya bagi para korban, akan tetapi juga kepada pemangku kepentingan di negara ini. Upaya memberi ruang betapa pentingnya menjaga ingatan kolektif bahwa Indonesia pernah mengalami sejarah pahit terorisme. Dengan begitu diperlukan serangkaian upaya sistemik mencegah hal serupa terjadi di masa mendatang. 

Sejarah pahit yang dialami Indonesia terjadi karena kala itu belum sepenuhnya memahami dampak reformasi terhadap gerakan teror transnasional. Para teroris menjadikan Indonesia sebagai target operasi teror dan pelibatan unsur internal WNI sebagai bagian operasi teror. 

Bom Bali I membuka mata Indonesia bahwa ekstremisme dan terorisme yang sejak lama benihnya, perlu disikapi dengan berbagai macam strategi. Pola yang dilakukan dalam kerangka pendekatan lunak dan pendekatan keras, termasuk pendekatan pelibatan multistake holder (pentahelix). Begitu juga dengan pendekatan budaya lokal-kearifan lokal, pendekatan kemanusiaan, dan berbagai macam pendekatan yang telah dilakukan, baik oleh aktor negara maupun aktor non negara. 

Deradikalisasi

Berbagai strategi dan kebijakan negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan memperkuat pencegahan aksi terorisme, dapat dipandang sebagai upaya menjamin efektivitas penanggulangan terorisme di Indonesia. Namun nampaknya dalam konteks penanganan terorisme, ada beberapa catatan penting terkait penguatan penanganan terorisme ke depan. 

Program deradikalisasi yang dilakukan oleh negara telah berhasil menekan kembalinya mantan narapidana kasus terorisme mengulangi tindakan kriminalnya. Tentunya setelah mereka menjalani program deradikalisasi. Setidaknya kurang dari 3% pelaku mengulangi karir kriminalitasnya dalam aksi terorisme. 

Namun di sisi lain ternyata program deradikalisasi masih bersifat parsial. Program ini masih belum terintegrasi dalam satu pintu. Badan khusus yang dibentuk untuk menangani program penanggulangan terorisme, ternyata masih belum mampu mengoordinasikan program deradikalisasi antarkementerian/lembaga secara terintegrasi. Kondisi tersebut tak pelak terjadi tumpang tindih di lapangan berkenaan penerima manfaat program deradikalisasi. Begitu juga dengan bentuk program intervensi masing-masing kementerian/lembaga. 

Program terintegrasi

Apakah cukup terintergrasi saja? Jelas tidak. Tentunya program deradikalisasi selain terintegrasi antar kementerian/lembaga, juga harus dilakukan secara berkelanjutan. Dengan bahasa lain deradikalisasi dengan konsepsi integrated sustainable deradicalisation. Adanya keberatan dari negara lain terkait pembebasan Umar Patek misalnya, bisa saja terjadi. Itu karena saat ini belum muncul adanya sistem yang ajeg berkenaan dengan integrated sustainable deradicalisation. 

Kendati demikian, pihak negara lain yang keberatan dalam kasus Umar Patek perlu diberikan penjelasan bahwa ada beberapa momentum Umar Patek telah mengalami proses penurunan derajat radikal terorisme. Indikasinya; pertama, Umar Patek ikut serta dalam upacara bendera bahkan bertugas menjadi pembawa bendera merah putih saat perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Kedua, Umar Patek melakukan ikrar kesetiaan terhadap Republik Indonesia, dan ketiga, melakukan pengajuan pembebasan bersyarat. 

Ketiga hal tersebut bagi jaringan terorisme atau organisasi teror adalah sesuatu yang tabu bahkan diharamkan. Sebab hal tersebut artinya Umar Patek telah rela memutuskan ‘jejaring’ ideologis yang telah membawanya sebagai pelaku Bom Bali I. 

Keberadaan warga negara Indonesia di luar negeri yang berstatus sebagai pendukung organisasi teror maupun petempur asing, hingga saat ini sekitar 500 orang. Lantas, bagaimana negara menyikapi hal tersebut? Kebijakan terakhir yang diambil pemerintah adalah mengembalikan anak-anak mereka masih belum terlaksana. 

Pengembalian masih terkendala berbagai macam isu. Namun cepat atau lambat WNI akan kembali ke Indonesia. Oleh karenanya Indonesia perlu menyiapkan berbagai macam mekanisme berkenaan dengan pengembalian WNI pendukung organisasi teror di luar negeri.

Instrumen aturan

Memang telah ada keputusan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) berkenaan dengan isu ini. Namun perlu dicatat apakah kementerian/lembaga telah mempersiapkan instrumen deradikalisasi, kontra narasi, kontra ideologi dengan berbagai varian alat ukurnya? Tentunya hal tersebut perlu dipastikan agar jika nantinya pemerintah mengambil opsi pengembalian, telah tersedia perangkat-perangkat yang dibutuhkan. 

Perkembangan teknologi, baik terkait dengan teknologi informasi maupun penguasaan terhadap teknologi terus dilakukan. Saat ini tantangan yang dihadapi oleh negara adalah bagaimana penyebaran konten ekstremisme melalui media sosial yang masif dapat diatasi. Caranya ialah dengan membuat kebijakan terkait regulasi siber maupun penyeimbangan atau perlawanan melalui kontra narasi. Selain itu negara perlu mengantisipasi modus pendanaan terorisme dengan memanfaatkan jasa keuangan berbasis teknologi. Hal yang tak kalah penting ialah bagaimana negara melakukan berbagai upaya mitigasi penyalahgunaan barang untuk aksi terorisme seperti drone dan bahan kimia. 

Berkaca pada regulasi UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, yang mana BNPT mendapatkan mandat sebagai koordinator penanggulangan terorisme, nampaknya belum maksimal dilakukan lembaga ini. 

Perwakilan daerah

Kapasitas kelembagaan dalam mengkordinasikan berbagai kerja penanggulangan terorisme di kementerian/ lembaga memang perlu ditingkatkan. Apalagi terkait struktur keorganisasian BNPT yang masih belum berubah pascaUU No. 5 tahun 2018. Padahal ada berbagai tantangan yang perlu direspons oleh BNPT. 

Selain itu dalam konteks pelembagaan BNPT di daerah, seharusnya perlu dipikirkan bagaimana penanggulangan terorisme di provinsi. Problem terorisme hari ini berada pada beberapa level pemerintahan, mulai dari pusat, provinsi hingga kabupaten/kota, tentunya dengan berbagai varian isu di masing-masing level. 

Salah satu jalan keluar yang bisa dilakukan adalah bagaimana BNPT perlu mendorong pembentukan perwakilan provinsi. Termasuk masalah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang sama berbahayanya. Situasi dan ancamannya menyangkut eksistensi negara. Kalau saja untuk isu lain ada badan negara berupa perwakilan, lalu mengapa BNPT tidak hadir di provinsi?

Tentunya, apabila BNPT berada di level provinsi maka kerja-kerja deradikalisasi, kerja kontra narasi, kerja koordinasi dengan lembaga negara di level pemerintahan daerah dapat dengan cepat dilaksanakan. Misalnya dalam konteks deradikalisasi, pembinaan terhadap keluarga napi terorisme dan mantan napi terorisme dapat secara berkesinambungan dilaksanakan. Kunjungan pun dapat setiap saat dilakukan, tidak menunggu adanya utusan staf dari pusat. Itu karena deradikalisasi membutuhkan komunikasi intensif antara pembina dan mitra deradikalisasi. 

Tantangan yang tak kalah penting hari ini adalah mencermati bagaimana metamorfosis jaringan terorisme. Saat ini ada pihak yang menyangka ISIS-JAD sebagai organisasi yang dibentuk oleh Abu Bakar Al Baghdadi telah lemah, hanya terkoneksi melalui siber. Begitu juga dengan JI, pascatertangkapnya Parawijayanto dan terungkapnya pendanaan dan pelatihan terorisme. Patut dicermati kedua organisasi tersebut pastinya memiliki exit strategy dalam gerakannya. 

Kita tentu ingat bagaimana alih bentuk organisasi teror dari waktu ke waktu, dari negara Islam Indonesia menjadi Jamaah Islamiyah. Kemudian berubah menjadi berbagai macam organisasi hingga akhirnya memunculkan Jamaah Anshor Daulah. Tentunya hal tersebut menjadi kunci dalam melihat pergerakan organisasi teroris yang ada. Bisa kita sebut salah satu contohnya perubahan JI dari sebelumnya menggunakan PUPJI, dielaborasi dengan TASTOS. Organisasi-organisasi tersebut ketika dideteksi oleh negara, biasanya beralih strategi, strategi apa dan bagaimana, ini yang kemudian menjadi tantangan untuk dicarikan jawaban.  

Saat ini kondisi politik dan hukum jauh berbeda zaman saat tragedi Bom Bali I. Saat itu Indonesia baru saja memasuki fase awal Reformasi, saat UU subversif baru saja dicabut dan Indonesia masih dalam gegap gempita demokratisasi. Tragedi Bom Bali I membuka kotak pandora kebijakan negara dalam penanganan terorisme. Kemunculan Perppu No. 1 Tahun 2002 dan kemudian dilanjutkan ke UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi panduan aparat negara dalam melakukan penanggulangan terorisme. 

Namun sayangnya produk UU ini memiliki keterbatasan karena aspek pencegahan aksi terorisme sangat minimalis. Berbeda dengan saat ini, ketika UU No. 5 tahun 2018 memberikan mandat yang maksimal dalam kerangka pencegahan aksi terorisme dan pencegahan paham radikal terorisme. 

Namun apakah instrumen hukum tersebut sudah mampu merespons perkembangan organisasi terorisme? Dalam konteks penyebaran ideologi masih menjadi tanda tanya. Pasalnya, dari hampir seluruh kasus tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia-kendati terjadi karena berbagai faktor, faktor ideologi menjadi sangat dominan.

Pelaku hampir semuanya memiliki keinginan mendirikan negara Islam dengan berbagai terminologi yang diyakininya. Lalu bagaimana regulasi menyikapi situasi yang demikian? Perlu ada pemikiran untuk memulai bagaimana mendiskusikan pelarangan ideologi yang menjadi basis motivasi seseorang bergabung ke dalam organisasi terorisme dan melakukan aksi terorisme. 

Bom Bali I, sekali lagi, membuka kotak pandora penanggulangan terorisme. Kita sebagai bangsa bagaimana pun perlu mencari formulasi bagaimana menjawab segala macam problematika penanggulangan terorisme di Indonesia. Dari sisi yang paling sensitif sekalipun, karena dengan begitu kita semua dapat dilegitimasi sebagai bangsa bermartabat.


Sumber: Media Indonesia | Refleksi 20 Tahun Tragedi Bom Bali I 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *