• April 25, 2024 9:20 pm

Melawan Paham dan Aksi Ekstrimisme Melalui Film

IWAN Gombo terpaksa harus mengikuti semua perintah Kelompok Sipil Bersenjata (KSB). Pria 29 tahun itu dibuat tak berdaya. Alasan utamanya patuh, karena takut dibunuh.

Saban hari berkebun di wilayah hutan pegunungan Poso, Sulawesi Tengah, Iwan selalu didatangi KSB. Ia kemudian ditugaskan untuk menjadi kurir.

Kerjanya, memasok logistik berupa makanan dan minuman, mengisi daya ponsel, mengisi daya power bank, serta mencari infromasi keberadaan aparat TNI-Polri di perkampungan.

Iwan yang merupakan petani miskin adalah seorang yatim. Di Poso ia hidup berdua bersama ibunya.

Ia menjadi kurir bukan karena ideologinya sama dengan KSB. Namun, karena kondisi yang mengharuskannya.

Kisah Iwan adalah cerita yang dibangun Arifudin Lako dalam sebuah film berjudul “Kurir”.

Dalam film pendek berdurasi 20 menit itu, Iin sapaan akrab Arifudin Lako mengaku, cerita dalam film ini adalah salah satu fakta yang ada pasca KSB Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso alias Abu Wardah eksis rentan waktu 2012 hingga saat ini di Poso.

“Film ini berdasarkan kisah nyata yang selama ini tidak terungkap di Poso,” terangnya saat memulai wawancara bersama Media Indonesia di Poso, Selasa (21/6).

Iin adalah mantan narapidana terorisme kelompok Jamaah Islamiyah Poso.

Pemuda kelahiran 20 September 1978 ini pernah merasakan dinginnya tembok penjara karena terlibat pembunuhan Ferry Silalahi yang merupakan jaksa pada Kejaksaan Tinggi Sulteng di Palu pada 26 Mei 2004 bersama beberapa temannya.

Pada 13 Juli 2010, Pengadilan Negeri Palu menghukum Iin delapan tahun enam bulan penjara.

Ketika bebas, Iin pun menemukan jalannya untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia akhirnya sadar dan tidak lagi bergabung bersama kelompok teror.

Kini, bersama Komunitas Rumah Katu dan didampingi seorang aktivis sekaligus peneliti terorisme Celebest Institute Adriani Badrah, Iin mengajak semua orang ke arah kerukunan dan perdamaian.

Ia memulai membangun upaya perdamaian dan menangkal penyebaran paham radikal terorisme di Poso melalui film bersama beberapa mantan narapidana terorisme.

Sejauh ini, Iin dan Komunitas Rumah Katu sudah memproduksi lima film (termasuk film kurir). Di mana, film pertama berjudul Senjata Rakitan durasi 3 menit, film kedua 2/3 Malam 3 menit, film ketiga Jalan Pulang 45 menit, film ke empat Salamnya Salim 5 menit.

“Semua film yang kami produksi berkaitan. Semuanya tentang terorisme. Yang bertujuan agar tidak ada lagi orang khususnya anak Poso menjadi bagian dalam kelompok teror,” ungkap Iin.

Dalam film kurir, Iin yang berperan sebagai Sutradara dan Adriani Badrah sebagai produser. Mereka berdua mengumpulkan sembilan pemain dari pelbagai latar belakang.

Satu di antaranya adalah mantan narapidana terorisme Poso Supriyadi alias Upik Pagar. Di film ini, Upik menjadi aktor pendukung utama yang memerankan pemimpin atau Amir KSB.

“Film ini memang sengaja melibatkan eks napiter. Mulai dari saya sendiri sebagai sutradara dan dan Upik sebagai aktor pendukung utama. Kenapa? Agar ceritanya bisa mengalir karena ada orang yang pernah terlibat aksi terorisme di dalam,” ujar Iin.

Menurutnya, Iwan yang diperankan oleh Ali Gombo, merupakan mahasiswa semester akhir di Universitar Sintuwu Maroso, Poso salah satu contoh kurir yang selama ini mendukung kegiatan teror KSB MIT di Poso.

Iin menjelaskan, kurir yang selama ini mendukung pergerakan di MIT di Poso sejatinya bukan dari simpatisan atau pendukung MIT. Pun demikian, memang ada kurir asli yang betul-betul pengikut MIT.

Namun, bicara soal kurir yang bukan simpatisan MIT ternyata lebih banyak. Di mana, seperti yang diceritakan dalam film ini, ada kurir MIT tidak berdasarkan ideologi. Mereka menjadi kurir karena keterpaksaan.

Bahkan, beberapa di antara kurir MIT di Poso datang dari kalangan agama berbeda. Seperti agama kristen dan hindu.

“Warga yang bekerja sebagai petani dan pekebun itu dipaksa untuk menjadi kurir MIT. Ini fakta yang kami temukan di lapangan,” kata Iin.

Kurir ini, diperintah layaknya pembantu, apa saja permintaan MIT harus mereka penuhi.

Parahnya, ketika dianggap membangkang, apa lagi tidak mengindahkan perintah MIT dan melapor keberadaan MIT ke aparat. Kurir tersebut pasti dibunuh.

“Itulah yang terjadi selama ini. Beberapa warga petani/pekebun yang tewas di Poso dan Parigi Moutong awalnya kurir MIT. Karena mereka melawan, akhirnya dibunuh dengan keji oleh MIT,” papar Iin.

Pendidikan untuk masyarakat

Semangat Iin membuat film ini karena ada rasa tanggung jawab yang besar diembannya.

Iin mengaku, karena pernah terlibat dalam jaringan terorisme, ia tidak mau ada orang yang mengikuti jejaknya. Dengan dalih apa pun, menurutnya, aksi terorisme tidak dibenarkan.

“Lewat film ini saya mengajak warga Poso khususnya dan warga Indonesia umumnya, untuk tidak mudah percaya dengan ajakan-ajakan kelompok tertentu yang mengarah ke radikalisme, apa lagi yang mengatasnamakan agama,” ujarnya.

Iin berharap, film itu ketika dirilis dapat diterima publik. Dan pesan dalam film ini bisa sampai kepada semua lapisan masyarakat khususnya anak-anak muda. Sehingga tidak gampang ikut menjadi bagian dari kelompok radikal dan tidak mudah terprofokasi.

“Semoga dengan adanya film ini seluruh masyarakat dapat lebih membentengi diri dari kelompok-kelompok radikalisme,” imbuhnya.

Aktor Pendukung Utama, Supriyadi bercerita, awal diajak Iin untuk terlibat dalam film Kurir tahun lalu, ia pun langsung mau dan tanpa pikir panjang.

Karena menurutnya, dengan terlibat dalam film Kurir, ia bisa turut membantu Rumah Katu dalam menyampaikan pesan-pesan deradikalisasi dan paham ekstrimisme yang harus dijauhi.

“Saya tidak mau ada lagi orang Poso atau orang mana pun di Indonesia yang terlibat dalam jaringan terorisme. Karena apa yang selama ini dilakukan jaringan itu salah dalam bentuk hukum mau pun agama,” tegasnya saat ditemui di Poso, Rabu (22/6).

Supriyadi merupakan eks napiter Poso yang dua kali ditangkap. Saat 2007 ia tergabung dalam JI Poso. Pertama kali ditangkap 2007 karena keterlibatan memiliki senjata api. Pada 2009 ia bebas, dan saat 2012 ia ditangkap lagi karena keterlibatannya dengan kelompok teroris JAT Poso.

Sebelum ditangkap untuk kedua kalinya pada 2012, Supriyadi sempat menjadi salah satu deklarator yang membangun MIT dan kemudian dipimpin Santoso.

Selama beberapa tahun dipenjara di Nusakambangan. Supriyadi pun bebas 2015 silam. Saat bebas itu dia tidak mau lagi terlibat dengan kelompok teroris mana pun. Ia pun berikrar kembali ke NKRI dan hidup normal.

Dalam film Kurir, Supriyadi berperan sebagai Amir atau pemimpin KSB. Saat menjadi Amir, ia membawahi empat pengikut yang kerjanya melaksanakan aksi teror dan bergerilya di hutan pegunungan pesisir Poso agar tidak ditemukan aparat TNI dan Polri yang mencari mereka dalam operasi.

“Selama bergerilya di hutan pegunungan itu kami menjadikan warga sebagai kurir. Tujuannya agar kami bisa terbantu mendapatkan suplai makanan dan minuman karena selama ada operasi, pergerakan kami terbatas. Selain itu, adanya kurir juga bisa membantu kami menjauhi aparat yang mengejar,” ungkapnya.

Supriyadi mengaku, apa yang dilakukannya dalam film merupakan fakta yang ada selama MIT eksis di Poso. Bahkan tidak sedikit kurir yang membangkang dibunuh oleh MIT.

“Inilah yang terjadi di Poso, sehingga saya mau terlibat dalam film ini, karena fakta. Ini yang terjadi di Poso dan belum banyak orang tahu, bahwa ada kurir yang membantu MIT dan mereka bukan berdasarkan ideologi, melainkan karena keterpaksaaan akibat takut dibunuh,” paparnya.

Supriyadi berharap, melalui film Kurir, akan banyak orang tercerahkan, khususnya anak-anak muda di Poso sehingga tidak mudah terprovokasi dengan ajak-ajakan yang menjurus ke aksi radikal dari kelompok teroris.

“Saat film ini dirilis saya juga akan terlibat aktif dalam diskusi. Sehingga apa yang saya ketahui terkait kelompok radikal bisa saya sharing ke masyarakat dengan tujuan ketika masyarakat mendengarkan cerita saya bisa lebih memperkuat hati untuk tidak terjerumus,” tutupnya.

Produser film Kurir, Adriani Badrah mengatakan, film ini sebagai media komunikasi dan pendidikan ke masyarakat yang berorientasi sosial.

Proyek ini diproduksi dengan pesan-pesan yang dikemas untuk memberikan informasi dan sarana pendidikan tentang perlunya kesadaran masyarakat mencegah penyebaran pesan-pesan yang menjadi legitimasi ideology dengan melakukan kekerasan ekstremisme.

“Film ini adalah salah satu cara mensinergikan kerja-kerja sebagai upaya pencegahan penyebaran paham radikalisme dan kekerasan berbasis agama,” paparnya kepada Media Indonesia di Palu, Sabtu (25/6).

Menurut Adriani, film Kurir diproduksi oleh komunitas Rumah Katu dan ini adalah produksi yang ke empat untuk kampanye dan edukasi “Counter Violence Extremistme”.

“Film ini disutradarai oleh Arifuddin Lako, seorang mantan narapidana teroris juga sebagai ketua komunitas Rumah Katu dan saya sendiri sebagai produser,” ujarnya.

Dalam film ini juga melibatkan mantan narapidana teroris sebagai pemeran film, melibatkan beberapa pemuda yang tergabung dalam komunitas Rumah Katu yang melakoni aktivitas keseharian sebagai guru, mahasiswa, pegawai di lingkup pemerintahan kabupaten Poso dan wiraswasta.

Selain itu, film Kurir lokasi pengambilan gambarnya dipusatkan di Poso dan beberapa titik lokasi di antaranya masuk wilayah Operasi Madago Raya.

“Saat pengambilan gambar kami izin kepada pemerintah desa, kecamatan, kepolisian, dan masyarakat setempat. Semuanya berjalan lancar dan aman,” kata Adriani.

Komunitas Rumah Katu adalah sebuah wadah dalam bentuk komunitas yang terdiri dari para pemuda dengan beragam latar belakang sosial, agama dan suku. Inisiasi Rumah Katu berasal dari filosofi Rumah sebagai tempat untuk berkumpul, mencipta, menyimpan, tempat nyaman untuk berlindung dan menemukan jati diri.

Katu atap rumbia yang dibuat dengan bahan dasar dari daun sagu. Pemaknaan Rumah Katu adalah Rumah Kami Satu. Rumah Katu didirikan pada 22 Januari 2016. Komunitas Rumah Katu beranggotakan individu.

Komunitas Rumah Katu secara aktif terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial kemasyarakatan, seni-budaya, eko-wisata, kampanye bina-damai, kampanye counter terorisme dan kampanye edukasi melalui visual tentang rehabilitasi dan reintengrasi mantan pelaku kekerasan ekstremisme.

Komunitas Rumah Katu yang berdiri dengan semangat dan motivasi untuk mendorong perdamaian sejati, harmoninisasi dan humanisme, nilai-nilai local visdom dan menciptakan stigma positif terhadap Poso.

“Dan dalam schedule tim produksi, film yang saat ini tengah masuk masa editing akan dilaunching pada September 2022,” ungkap Adriani.

Ia menyebutkan, tujuan film Kurir diproduksi sebagai wujud tanggung jawab kepada masyarakat terkait bagaimana melawan penyebaran paham-paham ekstremis yang mengarah ke arah teror/kekerasan yang berbasis keagamaan.

Dan film ini menjadi media kampanye serta edukasi pendidikan ke masyarakat dalam melawan narasi radikal-ekstrimis.

Termasuk, pentingnya mendukung pencegahan penyebaran paham radikalisme dan aksi-aksi kekerasan ekstremis, serta menjadi suatu arsip untuk pembelajaran ke generasi muda sebagai media counter violence ekstremis.

“Mengapa kami membuat film?. Karena kelompok radikal saat ini sudah melakukan penyebaran paham melalui film. Oleh karena itu, bentuk untuk melawan penyebaran paham itu melalui visualisasi, yah dengan film ini lah,” tegasnya.

Adriani menilai, film sudah menjadi salah satu media komunikasi yang paling berpengaruh. Dan siapa pun mudah untuk meniru suatu hal baik atau pun buruk melalui film.

“Apa lagi ditunjang dengan kemajuan teknologi seperti saat ini. Makanya, kami ingin film ini bisa juga disebarluaskan sehingga banyak orang bisa menonton dan menangkap pesan-pesan deradikalisasi dan antiterosime seusai menonton,” harapnya.

Saat rilis nanti, film ini pertama kali akan diputar di Poso. Ada tiga titik lokasi pemutaran perdana film ini. Pertama di Desa Randangan, Lape, dan Matako.

“Randangan, Lape, dan Matako merupakan titik lokasi pengambilan gambar film ini. Saat pemutaran di tiga lokasi itu, kami berharap masyarakat khususnya anak-anak muda datang,” kata Adriani.

Dalam setiap pemutaran, Rumah Katu dan Adriani menargetkan 50 penonton. “Nanti setelah pemutaran film baru kami gelar diskusi terbuka yang tema utama soal film dan soal deradikalisasi,” jelasnya.

Selain memutar film ini di desa tempat pengambilan gambar, Rumah Katu juga akan memutar film ini di kampung-kampung yang merupakan basis kelompok radikal Poso.

“Setelah itu kami putar di sejumlah sekolah dan universitas yang ada di Poso. Sesuai rencana juga kami akan putar di Palu yang melibatkan Polri, TNI, pemerintah provinsi, DPRD provinsi, dan semua pihak terkait,” ujarnya.

Dalam pembuatan film tersebut, tidak ada kendala besar yang dihadapi Rumah Katu dan Adriani. Pun hanya mengandalkan paralatan shooting dan peralatan pembuatan film seadanya. Semua proses pengambilan gambar berjalan lancar. Dan film ini murni dibuat secara swadaya oleh Komunitas Rumah Katu bersama Adriani.

“Anggaran yang kami gunakan sekitar Rp80-an juta. Itu dana pribadi saya dan kebanyakan dana dipakai untuk operasional tim produksi. Kami tidak ada kerja sama dengan pihak mana pun dalam menggarap film ini,” tegasnya.

Adriani mengaku, meski tidak dapat dukungan dari mana pun, ia tetap optimistis menggarap film Kurir. “Tujuan kami pesan dalam film ini tersampaikan. Dan kami tidak pikirkan lagi soal bagaimana mendapatkan uang dalam produksi. Alhamdulillah semuanya berjalan dengan baik,” ujarnya.

Setelah film ini dibuat, Adriani bersama Rumah Katu masih akan terus membuat film lainnya yang masih bertemakan soal perdamaian dan antiterorisme.

Adriani dan Rumah Katu akan terus konsisten. Menurutnya, apa yang ia lakukan bersama Rumah Katu adalah bentuk kontribusi nyata untuk negara, bagaimana menjaga Poso agar damai dan melawan pergerakan terorisme.

Ia menilai, ini pergerakan yang kongkret. Dan pembuatan film ini bukan soal genit-genitan. Tetapi ini hal yang sifatnya strategis yang urgen dan harus dilakukan.

“Kami berharap ini diapresiasi bukan hanya dengan ucapan terima kasih tetapi harus diberikan dukungan sehingga akan banyak orang-orang kritis di Indonesia bisa berbuat seperti ini. Selain itu, harapan terbesar industri perfilman di Indonesia juga bisa mencontoh kami,” pungkas Adriani.

Kameramen film Kurir, Ferdiansyah Umar mengatakan, dalam memproduksi film Kurir, mereka di Rumah Katu menggunakan peralatan seadanya.

Bahkan, salah satu kamera, lensa, tripod, dan drone yang digunakan mengambil gambar merupakan barang pinjaman dari kerabat mereka.

“Meski dengan alat seadanya kami memaksimalkan sebaik mungkin hasilnya film ini. Dan yang paling penting, karena ini film pendek, pesan dalam film ini semoga bisa langsung diterima masyarakat,” terang Ferdiansyah.

Menurutnya, selain sejumlah peralatan seadanya, properti yang ada di dalam film juga properti seadanya, bahkan beberapa di antaranya juga properti yang dipinjam. Seperti properti replika senjata api yang digunakan KSB dalam beberapa adegan film.

“Meski peralatan dan properti seadanya tidak membuat keinginan saya berkarya terbatas. Alhamdulillah gambar yang kami hasilnya lumayan baik. Dan semoga bisa diterima dengan baik pula oleh masyarakat nantinya,” harap Ferdiansyah.

Ferdiansyah yang kesehariannya bekerja sebagai pegawai di Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Poso sudah terlibat dalam tiga film bersama Rumah Katu.

Ia yang sedari awal memiliki pengetahaun yang cukup mempuni di bidang audio visual menjadikan modal utamanya bergabung bersama Rumah Katu.

“Kebetulan saya punya dasar audio visual pasca lulus sekolah di IKJ. Makanya saya cukup paham soal pembuatan film yang Alhamdulillah membantu saya dalam produksi film selama ini,” ungkapnya.

Kedepan, Rumah Katu akan mengupayakan memiliki studio perfilman sehingga bisa memiliki peralatan dan properti film yang memadai.

“Harapan terbesar teman-teman di Rumah Katu termasuk Adriani memiliki studio film kedepan. Semoga semuanya bisa terwujud,” tutupnya.

Harus dapat dukungan

Pengamat terorisme Sulteng Lukman S Thahir menilai, apa yang dilakukan Rumah Katu bersama Adriani Badrah merupakan satu langkah real yang harus didukung oleh semua pihak terkhusus pemerintah.

Menurutnya, program deradikalisasi yang selama ini digalakkan pemerintah di Poso sudah berjalan dengan baik sehingga bisa membuat sejumlah eks napiter berubah menjadi lebih baik dan diterima kembali masyarakat.

“Iin dan Supriyadi adalah contoh dari sebagian kecil eks napiter yang saat ini sudah kembali ke NKRI dan terus menggalakkan perlawanan kepada kelompok terorisme, oleh karena itu pergerakan positif mereka harus didukung,” kata Lukman kepada Media Indonesia saat ditemui di Palu, Selasa (28/6).

Ia menilai, radikalisme dan terorisme merupakan bentuk baru dari model penjajahan yang dilakukan kelompok garis keras di Indonesia, sehingga harus dilawan.

“Radikalisme dan terorisme tidak boleh dibiarkan berkembang di NKRI, khususnya di Poso dan itu harus dilawan dengan pelbagai cara,” ujarnya.

Lukman menjelaskan, kelompok garis keras gencar melakukan penyebaran radikalisme secara sistematis dan masif di era perkembangan sistem komunikasi dan informasi, yang membuat setiap orang rentan terpapar faham tersebut.

Bahkan, lanjutnya, semua pihak bisa terpapar radikalisme itu, sehingga perlu ada resolusi jihad modern dalam melawan tumbuh dan berkembangnya intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

“Sekarang saatnya resolusi jihad modern melawan radikalisme dan terorisme. Banyak cara yang bisa dilakukan di tengah kemajuan teknologi ini. Salah satunya dengan film,” sebutnya.

Lukman menilai, kampanye Rumah Katu dan Adriani untuk melawai paham radikalisme dan aksi terorisme melalui film adalah langka nyata.

Pasalnya, dalam film yang selama ini mereka produksi setidaknya sudah memperlihatkan tiga aspek pendekatan dalam melawan radikalisme. Meliputi aspek agama, budaya, dan sosial.

Pendekatan agama yaitu membangun pemahaman umat beragama mengenai perbedaan agama, yang diikutkan dengan pembangunan nilai-nilai akhlak dan moral.

Beragama yaitu membuka diri dan menjunjung tinggi kebenaran yang diyakini orang lain atau penganut agama lain. Maka di sini pentingnya wawasan dan akhlak.

Kemudian, pada aspek budaya yaitu membangun pemahaman masyarakat dan multi pihak tentang keragaman yang ada.

Sementara pada aspek sosial, perlu dilakukan cinta tanah air dan menumbuhkan semangat dan jiwa nasionalisme masyarakat.

“Dan di semua film Rumah Katu sudah memperlihatkan itu. Ditambah film terbaru berjudul Kurir. Kita berharap semua pihak bisa menerima film terbaru tersebut, karena di dalamnya bercerita tentang aktivitas dari KSB,” ajak Lukman.

Wakil Bupati Poso, Yasin Mangun menilai, apa yang dilakukan Komunitas Rumah Katu bersama Adriani Badrah patut diapresiasi.

Menurutnya,kampanye anti radikalisme dan terorisme yang selama ini digaungkan, sudah membantu pemerintah membawa Poso lebih baik dan semakin terbebas dari adanya gangguan-gangguan kelompok teror.

“Kita tidak pungkiri memang masih ada saja ke kelompok-kelompok mengarah ke radikalisme di Poso. Namun dengan masifnya kampanye Iin bersama Adriani melalui filmnya, bisa membawa masyarakat Poso lebih mengerti dan tidak mudah bergabung dengan kelompok radikal,” ungkap Yasin kepada Media Indonesia , Senin (27/6).

Pemerintah Poso akan mengandeng Rumah Katu bersama Adriani untuk memutar film ini ke seluruh sekolah dan universitas yang ada di Poso.

“Tentu kami juga akan memfasilitasi semua kebutuhan teman-teman. Sehingga pesan yang ingin disampaikan dalam film bisa benar-benar menyentuh masyarakat khususnya anak-anak muda yang ada di sekolah tingkat SMA hingga perguruan tinggi,” tegas Yasin.

Sejauh ini, lanjutnya, pemerintah terus memberikan perhatian kepada eks-eks napiter yang telah kembali bermasyarakat.

Namun, terkait program deradikalisasi, pemerintah Poso hanya sebatas memonitoring, karena yang lebih fokus dengan program deradikalisasi di Poso adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

“Untuk eks napiter kami fokus kepada peningkatan kesejahteraan atau jaminan hidup mereka saja. Yah, salah satunya dengan membukakan lapangan pekerjaan dan memberikan bantuan, seperti yang kami lakukan kepada keluarga pengikut MIT Basri dan Ali Kalora,” pungkasnya. (OL-7)


Sumber: Media Indonesia | Melawan Paham dan Aksi Ekstrimisme Melalui Film

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *