• April 25, 2024 7:43 pm

Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa di Indonesia

Sebanyak 23 napi korupsi bebas bersyarat

Jakarta, CNN Indonesia

Pembebasan bersyarat yang diperoleh 23 narapidana kasus tindak pidana korupsi mendapatkan sorotan tajam dari publik. Upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi pun dipertanyakan karena dikhawatirkan bernasib suram di masa mendatang.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham menyatakan 23 narapidana kasus korupsi yang mendapatkan pembebasan bersyarat telah dikeluarkan pada 6 September 2022 dari Lapas Kelas IIA Tangerang, Banten dan Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Mereka yang dibebaskan bersyarat itu antara lain mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari, mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, dan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola.

Pembebasan bersyarat tersebut mengacu pada Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang telah resmi berlaku sejak 3 Agustus 2022. Dalam pasal itu disebutkan, narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali diberikan sejumlah hak, salah satunya pembebasan bersyarat.

Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa

Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus korupsi merupakan konsekuensi logis dari pembatalan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme dan lainnya.

Menurutnya, pembatalan regulasi itu oleh Mahkamah Agung (MA) telah membuat korupsi tak lagi dikategorikan kejahatan luar biasa alias extraordinary crime, sehingga pelakunya bisa mendapatkan remisi seperti pelaku tindak pidana lainnya.

“Memang soal remisi sudah dikembalikan sama dengan pelaku tindak pidana lainnya, dulu memang ada pengetatan, kemudian terjadilah seperti sekarang. Kemudian jadi pertanyaan, apakah kebijakan kita ingin memperlakukan pelaku korupsi sama dengan pelaku tindak pidana lainnya. Ini konsekuensi logis,” kata Agustinus saat dihubungi, Kamis (8/9).

Ia mengakui bahwa pengetatan aturan remisi terhadap pelaku korupsi memang tak lantas membuat kasus korupsi hilang di Indonesia.

Namun, menurutnya, pemerintah seharusnya tidak membatalkan aturan tersebut dan membuat kebijakan yang keliru yang mengakibatkan situasi seperti saat ini.

“Dulu kan fokusnya bagaimana memperberat hukuman agar menimbulkan efek jera. Apakah berhasil? Memang tidak juga sebetulnya buktinya koruptor masih banyak. Tapi ketika tidak berhasil, bukan berarti kebijakan keliru,” ucap Agustinus.

Agustinus memandang, pelonggaran aturan dengan menempatkan kasus korupsi sebagai kejahatan biasa tanpa melakukan upaya lain akan meningkatkan jumlah kasus korupsi di Indonesia.

Ia pun menilai aparat penegak hukum di kejaksaan dan pengadilan harus lebih tegas lagi dalam menuntut dan memutuskan vonis terhadap koruptor. Salah satunya, dengan menuntut atau mencabut hak mendapatkan remisi.

Putusan pengadilan yang menetapkan hak mendapatkan remisi dicabut atau tidak, tapi saya tidak melihat di putusan pengadilan sekarang, lalu apakah kemudian kejaksaan akan menuntut agar dicabut haknya,” ujar dia.

“Kalau dulu di eksekutif, sekarang diserahkan ke yudikatif. Maka harus ada komitmen MA soal ini, terkait pemberantasan korupsi,” tegasnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya…


Kemenkumham Diminta Beri Penjelasan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Sumber: CNN Indonesia | Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa di Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *