RADIKALISME memiliki keyakinan kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan. Kita lihat teori ini sedikit banyak ‘pembenarannya’ tatkala terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana.
Pandangan ini tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa agama dan semuanya berakar pada radikalisme dalam penghayatan agama. Secara teoretis, radikalisme muncul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan dari komunitas tertentu agar dunia ini diubah dan ditata sesuai dengan doktrin agamanya.
Karena itulah, moderasi dalam beragama harus dihadirkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Moderasi beragama tetap menjadi komitmen bersama, guna membangun bangsa yang modern dan demokratis, yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis secara damai. Moderasi beragama adalah simbol bagi suksesnya kehidupan masyarakat majemuk. Karena itu, agama yang dimiliki oleh masing-masing umat tetap terjaga sebagai sosok keyakinan yang tidak melampaui batas.
Artinya, bagaimanapun agama sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan nilai-nilai spiritual umat, tetapi segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan yang damai. Jika kaum radikalis agama mengekspresikan keyakinannya dalam bentuk kekerasan, ini merupakan ancaman besar bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada 5 hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah sebagai pengambil kebijakan, dalam mengembangkan moderasi beragama dalam kehidupan sosial masyarakat, sebagai upaya menangkal sebaran radikalime agama. Sebab kesalahan yang berulang-ulang terhadap kajian kelompok radikalisme, tidak akan mengurangi angka pengikut mereka, bahkan cenderung kian bertambah. Sehingga untuk meminimalisir kelompok-kelompok radikalisme agama di bumi pertiwi ini tidak semata-mata dilihat secara faktor ajaran agama an sich.
Pertama, dalam moderasi beragama yang harus di mengerti oleh pemerintah adalah kemunculan kelompok-kelompok radikalisme, oleh karena kemiskinan dan pengangguran. Problematika ekonomi dapat mengubah sifat seseorang yang awalnya baik menjadi orang yang kejam. Karena dalam keadaan terdesak atau himpitan ekonomi, apapun bisa manusia lakukan, anarkis dan juga teror. Asumsi yang mereka bangun bahwasannya perputaran ekonomi hanya dirasakan oleh yang kaya semata, yang menyebabkan semakin curamnya jurang kemiskinan, yang berakibat mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal di luar nalar kemanusiaan. Sebagaimana hadis nabi ‘kefakiran dapat menyeret seseorang kepada kekafiran’.
Kedua, membicarakan moderasi beragama harus bicara pemimpin yang adil. Artinya pemimpin yang memihak kepada masyarakat, dan tidak sekadar menjanjikan kemakmuran. Namun jika pemimpin itu mennggunakan politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan, akan timbul kelompok-kelompok masyarakat yang akan menamakan dirinya sebagai penegak keadilan. Apakah itu kelompok dari sosial, agama maupun politik, yang dapat saling menghancurkan satu sama lain. Seperti halnya golongan khawarij yang lahir pada masa khalifah Ali bin Abi Tholib yang disebabkan oleh ketidakstabilan politik pada masa itu. Sehingga muncullah golongan syi’ah dan khawarij yang merasa paling benar sendiri dan saling menjustifikasi atau saling mengkafirkan satu sama lain.
Ketiga, yang harus dipahami dalam mengembangkan moderasi beragama oleh pemerintah adalah faktor sosial. Faktor sosial ini masih ada hubungannya dengan faktor ekonomi. Ekonomi masyarakat yang amat rendah membuat mereka berfikir sempit, yang pada akhirnya mereka mencari perlindungan kepada ulama yang sepaham atau satu aliran dengan pemikiran kelompoknya.
Permasalahan
Mereka berasumsi akan mendapat perlindungan dan pertolongan dari para ulama satu aliran dengan mereka tersebut. Dimulai dari situ masyarakat sudah bercerai berai, banyak golongan-golongan agama yang radikalis bermunculan. Sehingga citra agama yang seharusnya sebagai penyejuk, harmoni dan lembut itu hilang.
Keempat, adalah faktor psikologis harus menjadi perhatian yang khusus dalam moderasi beragama. Pengalaman seseorang yang mengalami kepahitan dalam hidupnya seperti kegagalan dalam karier, permasalahan keluarga, tekanan batin, serta kebencian dan dendam. Hal-hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk berbuat penyimpangan dan anarkis, serta penghambat pengembangan upaya dalam moderasi beragama.
Dr Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Saudara muslim kita yang seperti itulah yang menjadi target sasaran orang radikal untuk diajak bergabung dengan mereka. Karena dalam keadaan seperti itu mereka sangat rentan dan mudah terpengaruh.
Pemerintah tidak boleh menghindar, diam seribu bahasa terhadap masyarakat yang mendapat tekanan psikologis seperti ini. Moderasi beragama dan kehadiran pemerintah di tengah-tengah kehiduapn mereka sangat bisa meminimalisir akan kemunculan sempalan-sempalan radikalisme. Dengan hadirnya pemerintah bisa memberi kesejukan, solusi, dan angin segar bagi kehidupan mereka ke depannya.
Kelima yang perlu diperhatikan dalam uapaya pengembangan moderasi beragama adalah faktor pendidikan. Radikalisme agama dapat terjadi dikarenakan melalui pendidikan yang salah. Pendidikan agama amal ma’ruf nahi munkar, namun dengan pendidikan yang salah akan berubah menjadi amal munkar. Dengan tidak menjustifikasi, tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi radikal justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan.
Dengan memotret lima faktor tersebut terhadap upaya dalam moderasi beragama, sudah seharusnya pemerintah menata ulang dan berpikir ilmiah guna meminimalisir bertambahnya kelompok-kelompok sempalan di bumi pertiwi ini. Seyogyanya pemerintah melalui kondisi dan hasil kemajuan ilmu pengetahuan membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada masyarakat.
Akan tetapi, suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh. Hidup semakin sulit dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan, sehingga mengurangi kebahagiaan. Hal itulah yang menyebabkan sebagian masyarakat lari dari kebisingan dan kehidupan bermasyarakat yang toleran
Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong, dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan, sudah sangat memprihatinkan kehidupan sosial masyarakat dewasa ini. Di sana sini banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, mengambil hak orang lain, sesuka hati dan perbuatan-perbuatan biadab lainya.
Gejala kemerosotan akhlak tersebut dewasa ini bukan saja menimpa kalangan dewasa, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar tunas-tunas muda. Orang tua, ahli didik, dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak mengeluhkan perilaku sebagian masyarakat yang nakal, keras kepala, mabuk-mabukan, tawuran, pesta obat-obatan terlarang, bergaya hidup seperti hipies di Eropa, Amerika, dan sebagainya. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat, rasa individualitas dan egoistis, persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari agama, adalah faktor lain yang juga harus diperhatikan pemerintah, tokoh bangsa, tokoh masyarakat guna merekonstruksi moderasi beragama dalam kehidupan sosial masyarakat.