KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Rycko Amelza Dahniel mengajak mahasiswa meneladani semangat dan daya juang para pahlawan, sekaligus meningkatkan pendidikan kebangsaan dalam rangka membangun ketahanan nasional.
“Ada empat alasan mengapa pendidikan kebangsaan itu penting kaitannya dengan pencegahan ideologi radikalisme dan terorisme. Pertama, radikalisme dan terorisme tidak sesuai dan mengancam keutuhan NKRI. Kedua, radikalisme dan terorisme merusak peradaban umat manusia dan merobek-robek humankind (umat manusia),” kata Rycko seperti dilansir Antara di Jakarta, Jumat (10/11).
Ketiga, kata Rycko, sasaran utama radikalisme dan terorisme ialah perempuan, anak, dan remaja. Keempat, radikalisme dan terorisme memanipulasi kesucian simbol dan atribut agama untuk kepentingan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara atas nama agama.
“Radikalisme dan terorisme tidak sesuai dan mengancam keutuhan NKRI karena berasal dari bibit intoleran yang tidak dapat menerima perbedaan, padahal fitrah manusia adalah menjadi berbeda. Sikap intoleran saja sudah tidak sesuai kompatibel dengan konsep kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika,” terang Kepala BNPT.
Ia menyampaikan hal itu saat memberikan kuliah umum tentang Pencegahan Paham Radikal Terorisme dalam Rangka Memperingati Hari Pahlawan 2023 di Graha Widyatama Prof Rubijanto Misman Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat.
Menurut dia, radikalisme dan terorisme mengajarkan kekerasan, kebiadaban, dan merusak peradaban karena menghancurkan manusia yang sudah mempunyai adab. Mereka, lanjut Rycko, hidup dengan barbar, sebab yang kuat akan menang, tidak menghargai perempuan, dan membenarkan apa pun atas nama agama.
Kepala BNPT menjelaskan bahwa pihaknya bersama sejumlah peneliti telah meneliti tren sikap toleransi siswa dari tahun ke tahun, dan hasilnya terjadi migrasi signifikan di antara para remaja SMA di antara 2016–2023.
Baca juga: Kepahlawanan Ratu Kalinyamat Dorong Perempuan untuk Bangkit
“Peningkatan dari intoleran menjadi intoleran pasif, peningkatan juga dari pasif menjadi intoleran aktif, peningkatan dari pasif menjadi kelompok terpapar,” ujar Rycko.
Dia menjelaskan ada tiga faktor mendasar terjadinya migrasi dan peningkatan signifikan terhadap sikap toleransi remaja, yaitu kurangnya kesadaran akan sejarah kemerdekaan NKRI, budi pekerti, dan pengetahuan dan wawasan kebangsaan.
Di sisi lain, Rycko juga menjelaskan pola serangan terorisme di Indonesia telah berubah. Dari 2018–2023, terjadi penurunan open attack (serangan terbuka) karena masifnya penindakan dari Densus 88. Kemudian, karakter generasi muda yang tidak menyukai kekerasan, di samping kekerasan yang sudah tidak populer di kalangan remaja.
Oleh karena itu, ucap Rycko, para radikal teroris mengubah pendekatan dari hard approach (pendekatan keras) menjadi soft approach (pendekatan lunak), yaitu gerakan di bawah tanah secara sistematis, terstruktur, dan masif.
“Target utama radikalisasi ini adalah remaja, anak, dan perempuan. Mereka menggunakan media sosial yang dulunya menggunakan strategi bullet (peluru), lalu sekarang menjadi ballot strategy (kotak suara),” tuturnya.
Rycko mengingatkan tiga kelompok rentan tersebut agar jangan sampai terpapar karena mereka merupakan generasi penerus bangsa.
“Jika ketiga kelompok ini menjadi intoleran, dapat dibayangkan dapat terjadi banalisasi bangsa, konsep kebangsaan yang dibangun dari persatuan dan perbedaan ini selesai. Ini yang saya katakan jika ingin mengakhiri bangsa Indonesia,” tegasnya.
Dia pun berpesan kepada para mahasiswa dan sivitas Unsoed untuk membangun kesadaran bersama tentang segala bahaya laten ideologi kekerasan. Ia mengimbau mahasiswa untuk melapor kepada pihak berwenang, jika menemukan kajian yang mengajarkan kekerasan dan intoleran.
“Kalau menemukan kajian aneh-aneh di media sosial, Telegram, WA dan semacamnya, yang mengajarkan kebencian mengolok-olok, cepat diblok saja. Hati-hati, mereka menyusup lewat soft approach,” pungkasnya. (Ant/I-1)
KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Rycko Amelza Dahniel mengajak mahasiswa meneladani semangat dan daya juang para pahlawan, sekaligus meningkatkan pendidikan kebangsaan dalam rangka membangun ketahanan nasional.
“Ada empat alasan mengapa pendidikan kebangsaan itu penting kaitannya dengan pencegahan ideologi radikalisme dan terorisme. Pertama, radikalisme dan terorisme tidak sesuai dan mengancam keutuhan NKRI. Kedua, radikalisme dan terorisme merusak peradaban umat manusia dan merobek-robek humankind (umat manusia),” kata Rycko seperti dilansir Antara di Jakarta, Jumat (10/11).
Ketiga, kata Rycko, sasaran utama radikalisme dan terorisme ialah perempuan, anak, dan remaja. Keempat, radikalisme dan terorisme memanipulasi kesucian simbol dan atribut agama untuk kepentingan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara atas nama agama.
“Radikalisme dan terorisme tidak sesuai dan mengancam keutuhan NKRI karena berasal dari bibit intoleran yang tidak dapat menerima perbedaan, padahal fitrah manusia adalah menjadi berbeda. Sikap intoleran saja sudah tidak sesuai kompatibel dengan konsep kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika,” terang Kepala BNPT.
Ia menyampaikan hal itu saat memberikan kuliah umum tentang Pencegahan Paham Radikal Terorisme dalam Rangka Memperingati Hari Pahlawan 2023 di Graha Widyatama Prof Rubijanto Misman Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat.
Menurut dia, radikalisme dan terorisme mengajarkan kekerasan, kebiadaban, dan merusak peradaban karena menghancurkan manusia yang sudah mempunyai adab. Mereka, lanjut Rycko, hidup dengan barbar, sebab yang kuat akan menang, tidak menghargai perempuan, dan membenarkan apa pun atas nama agama.
Kepala BNPT menjelaskan bahwa pihaknya bersama sejumlah peneliti telah meneliti tren sikap toleransi siswa dari tahun ke tahun, dan hasilnya terjadi migrasi signifikan di antara para remaja SMA di antara 2016–2023.
Baca juga: Kepahlawanan Ratu Kalinyamat Dorong Perempuan untuk Bangkit
“Peningkatan dari intoleran menjadi intoleran pasif, peningkatan juga dari pasif menjadi intoleran aktif, peningkatan dari pasif menjadi kelompok terpapar,” ujar Rycko.
Dia menjelaskan ada tiga faktor mendasar terjadinya migrasi dan peningkatan signifikan terhadap sikap toleransi remaja, yaitu kurangnya kesadaran akan sejarah kemerdekaan NKRI, budi pekerti, dan pengetahuan dan wawasan kebangsaan.
Di sisi lain, Rycko juga menjelaskan pola serangan terorisme di Indonesia telah berubah. Dari 2018–2023, terjadi penurunan open attack (serangan terbuka) karena masifnya penindakan dari Densus 88. Kemudian, karakter generasi muda yang tidak menyukai kekerasan, di samping kekerasan yang sudah tidak populer di kalangan remaja.
Oleh karena itu, ucap Rycko, para radikal teroris mengubah pendekatan dari hard approach (pendekatan keras) menjadi soft approach (pendekatan lunak), yaitu gerakan di bawah tanah secara sistematis, terstruktur, dan masif.
“Target utama radikalisasi ini adalah remaja, anak, dan perempuan. Mereka menggunakan media sosial yang dulunya menggunakan strategi bullet (peluru), lalu sekarang menjadi ballot strategy (kotak suara),” tuturnya.
Rycko mengingatkan tiga kelompok rentan tersebut agar jangan sampai terpapar karena mereka merupakan generasi penerus bangsa.
“Jika ketiga kelompok ini menjadi intoleran, dapat dibayangkan dapat terjadi banalisasi bangsa, konsep kebangsaan yang dibangun dari persatuan dan perbedaan ini selesai. Ini yang saya katakan jika ingin mengakhiri bangsa Indonesia,” tegasnya.
Dia pun berpesan kepada para mahasiswa dan sivitas Unsoed untuk membangun kesadaran bersama tentang segala bahaya laten ideologi kekerasan. Ia mengimbau mahasiswa untuk melapor kepada pihak berwenang, jika menemukan kajian yang mengajarkan kekerasan dan intoleran.
“Kalau menemukan kajian aneh-aneh di media sosial, Telegram, WA dan semacamnya, yang mengajarkan kebencian mengolok-olok, cepat diblok saja. Hati-hati, mereka menyusup lewat soft approach,” pungkasnya. (Ant/I-1)