• April 26, 2024 7:49 am

IPDN Gelar Seminar Antiradikalisme Bagi Praja

INSTITUT Pemerintahan Dalam Negeri menggelar stadium general terkait radikalisme bagi praja dan civitas akademika IPDN. 

Hal ini dilakukan guna memberikan pengetahuan terkait upaya antisipasi dan strategi mengatasi gerakan radikalisme dan intoleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Direktur The Wahid Foundation Yenny Wahid didapuk menjadi narasumber dalam acara ini. Selain Yenny Wahid, hadir juga Plh Kasubdit Kontranaratif Ditcegah Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana, Tenaga Ahli Pencegahan Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme Mabes Polri Islah Bahrawi dan pengamat terorisme Sofyan Sauri.

Acara ini diikuti secara luring oleh seluruh praja IPDN kampus Jatinangor juga diikuti secara daring oleh seluruh praja, mahasiswa pascasarjana, keprofesian dan civitas akademika.

Rektor IPDN Hadi Prabowo mengatakan, kegiatan ini untuk memproteksi praja agar mengetahui perbedaan radikalisme dan intoleransi serta bagaimana upaya-upaya mengantisipasinya, 

“Ketidaktahuan para praja kepada beberapa tokoh yang disinyalir menganut paham-paham tertentu, menjadi intropeksi kami khususnya bagian yang mengendalikan mahasiswa/praja untuk lebih berhati-hati. Saya pastikan sekali lagi bahwa IPDN steril dari paham-paham radikalisme,” ujar Hadi.

Hadi menegaskan, IPDN adalah pendidikan kepamongprajaan yang dilandasi oleh jiwa Pancasila, cinta NKRI dan mengedepankan nilai-nilai kebangsaaan serta mampu menghadapi radikalisme dan selalu menjaga kerukunan.

“Di IPDN tidak benar ada pengajian yang beraliran wahabi atau paham-paham menyimpang lainnya. Kalau sudah lulus jadi ASN itu bukan tanggung jawab IPDN lagi karena mereka akan menghadapi kompleksitas dan tekanan kehidupan yang berlainan”, ujarnya. 


Pada kesempatan ini Yenny Wahid menyampaikan perbedaan terkait radikalisme dan intoleransi. Menurutnya intoleransi adalah sikap dan tindakan yang bertujuan menghambat atau menentang hak-hak kewarganegaraan yang dijamin konstitusi. 

Intoleransi ini bisa terjadi terhadap orang yang berbeda agama,maupun satu keyakinan. Sedangkan radikalisme adalah partisipasi atau kesediaan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang melibatkan kekerasan atas nama agama, etnis maupun politik. 

“Radikalisme bisa dilakukan oleh siapa saja, dari agama apa saja, dari kelompok politik mana saja, asal dia bersedia untuk berpartisipasi dengan menggunakan kekerasan dalam mewujudkan agenda-agendanya”, ujarnya. 

Yenny Wahid juga mengapresiasi tindakan yang dilakukan oleh Rektor IPDN dengan segera melakukan penyisiran ketika ditengarai ada unsur-unsur yang berusaha masuk ke IPDN. 

“IPDN adalah tonggaknya Indonesia. Ke depannya nanti praja IPDN yang akan menjalankan negara kita. Jadi harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya”, tuturnya. 

Senada dengan yang disampaikan oleh Yenny Wahid, AKBP Mayndra mengatakan bahwa radikalisme adalah gagasan untuk mengganti ideologi yang sudah berdaulat.

“Seseorang menjadi radikalis dan intoleran belum tentu menjadi teroris, tapi teroris sudah pasti orang yang radikal dan intoleran. Jadi kita harus hati-hati apabila sudah mulai merasakan intoleran”, ujar Sofyan Sauri. 

Pendapat senada disampaikan Islah Barawi. Ia kembali mengingatkan jangan mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda agama. “Mari bawa agama ini kedalam arah kedamaian, anti kebencian dan anti kekerasan,” tandasnya. (OL-8)


Sumber: Media Indonesia | IPDN Gelar Seminar Antiradikalisme Bagi Praja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *